Mendengar kata unschooling/homeschooling dengan konsep keterbukaannya, seringkali membuat orang mengambil langkah mundur (berpikir mengenai kualitas).
Tapi jika ada cara belajar yang sepenuhnya menganut filosofi cara open source, maka itu adalah unschooling. Beberapa bahkan menggunakan frase open source untuk mendeskripsikan mengenai unschooling.
Keduanya yaitu unschooling dan open source adalah konsep revolusioner yang berdasarkan kebebasan memilih.
Mereka mendorong kita untuk memikirkan kembali dan menilai kembali apa, kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa kita belajar.
Unschooling adalah sebuah pendekatan untuk pendidikan yang mengikuti rasa ingin tahu bawaan anak dan keinginan untuk belajar. Hal ini tidak berdasarkan arahan dari guru atau kurikulum yang ditetapkan. Konsep belajar mandiri.
Keterbukaan, berbasis masyarakat, pendekatan secara langsung ke dunia pendidikan - siapapun, apapun dan di manapun dimungkinkan dalam belajar.
Unschoolers bisa menggunakan buku teks open source seperti yang ditemukan di web www.ck12.0rg (CK-12 Flexbooks), mengambil kelas online melalui program seperti Open Learning Carnegie Mellon - http://oli.web.cmu.edu, atau melanjutkan ke kursus personal di perguruan tinggi setempat.
Unschooling memungkinkan anak memutuskan apa, kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa mereka harus belajar. Memperlakukan pendidikan secara holistik di mana pengetahuan secara alami saling berhubungan, tidak terkotak-kotak ke dalam mata pelajaran atau kelas yang terpisah.
Orang tua/wali siswa dari unschoolers mengakui bahwa belajar tidak selalu berurutan atau linier.
Ini berarti bahwa unschoolers dapat belajar aljabar dari menonton video pendidikan dari Khan Academy(www.khanacademy.org) pada usia lebih dini daripada di sekolah konvensional.
Mereka bisa belajar perkalian sebelum menguasai pengurangan. Mereka bisa membuat cerita sendiri secara interaktif, game, animasi, atau simulasi dengan Scratch, bahasa pemrograman MIT, atau membuat pembelajaran mereka sendiri kubus 3D atau koleksi video, audio, gambar, atau menggunakan teks di museumbox.e2bn.org .
Siswa dapat membuat konten digital mereka sendiri, dan membaginya, dan intinya adalah berperan atau menjadi bagian aktif dalam gerakan open source.
Mereka menciptakan masyarakat berdasarkan kebutuhan saling berbagi dan menyediakan sumber daya terbuka untuk semua orang.
Ini adalah cara untuk belajar dengan sedikit biaya. Orang tua dan anak-anak belajar untuk blogging atau membuat website sendiri, dan dapat bergabung dengan kelompok online atau offline berbagi tentang berita, kegiatan, dan informasi.
Mereka mengorganisir kunjungan lapangan, pertemuan masyarakat, magang, dan bahkan ilmu pengetahuan.
Kritikan pada unschooling bahwa anak-anak tidak mendapatkan sumber daya yang mereka butuhkan untuk membangun pengetahuan dasar atau kurangnya interaksi sosial yang mereka butuhkan untuk berurusan dengan dunia nyata. Argumen-argumen tersebut terbantahkan dengan dunia digital semakin global, jumlah jaringan, dan sumber daya open source yang bebas dibuat dan disediakan secara luas dan mudah diakses.
Di Amerika Serikat memperkirakan bahwa 1,5 juta siswa belajar di rumah-ini berarti 2,9% (dari semua siswa di AS) untuk tahun 2007.
Angka ini meningkat 36% sejak studi terakhir pada tahun 2003.
Setiap negara memiliki kebijakannya sendiri mengenai homeschooling atau unschooling dan daerah dapat menetapkan aturan mereka sendiri pada pendidikan tersebut.
Akibatnya, sulit untuk mendapatkan data sebenarnya dari berapa banyak unschoolers berada.
Beberapa percaya bahwa penduduk Unschool mewakili 10% atau lebih dari homeschoolers. Unschool di jaringan lokal, negara, dan regional sangat berlimpah di Amerika Serikat.
Terdapat kelompok unschoolers dari semua kelompok populasi, lapisan masyarakat, penganut kepercayaan, dan tingkat pendidikan: Afrika Amerika,Cina, Hispanik, Kristen, Yahudi, Muslim, kelas khusus, kelas percepatan, atau dari keluarga kaya dan miskin. Orang tua tunggal dan tinggal di rumah, serta orang tua yang bekerja paruh waktu atau sebaliknya.
Seperti halnya dengan gerakan open source, unschooling bukan sesuatu yang eksklusif untuk Amerika Serikat dan menjadi sebuah fenomena global.
Unschoolers dapat ditemukan di India, Israel, Kanada, bagian dari Eropa, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, dan Malaysia. Bahkan Sugata Mitra (http://www.greenstar.org/butterflies/Hole-in-the-Wall.htm) telah menunjukkan bahwa anak-anak dari daerah kumuh di New Delhi, dengan sedikit atau tidak memiliki pendidikan atau pengetahuan bahasa Inggris, bisa mengajarkan diri mereka sendiri dan satu sama lain jika mereka termotivasi oleh rasa ingin tahu.
Namun, di banyak negara, unschooling atau homeschooling adalah ilegal atau ada pembatasan secara kaku. Beberapa orang tua di Jerman dan Swedia telah menghadapi hukuman penjara, denda berat, kehilangan hak asuh anak. Akibatnya, homeschooling menjadi isu kemanusiaan global dari negara yang melarang atau menjatuhkan sanksi atasnya.
Ini menjadi menarik untuk melihat bagaimana gerakan unschooling dan open source terangkat.
Gerakan Unschooling dan open source menantang pendapat kita tentang akal, pendidikan mandiri, membangun kepercayaan diri sendiri, dan motivasi diri.
Ini bertentangan dengan konsep pengetahuan berada di segelintir orang (media pendidikan formal/pemerintah).
Jika kita senang melihat gairah (gelembung kecil) anak-anak dengan kecintaan untuk membaca, tetapi terlebih lagi jika melihat mereka meledak dengan open source- dan ini harapan untuk masa depan.
Sumber dan Gambar:
Terjemahan dari http://opensource.com/education/12/3/unschooling-open-source-way
Oleh: Carolyn Fox
Tapi jika ada cara belajar yang sepenuhnya menganut filosofi cara open source, maka itu adalah unschooling. Beberapa bahkan menggunakan frase open source untuk mendeskripsikan mengenai unschooling.
Keduanya yaitu unschooling dan open source adalah konsep revolusioner yang berdasarkan kebebasan memilih.
Mereka mendorong kita untuk memikirkan kembali dan menilai kembali apa, kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa kita belajar.
Unschooling adalah sebuah pendekatan untuk pendidikan yang mengikuti rasa ingin tahu bawaan anak dan keinginan untuk belajar. Hal ini tidak berdasarkan arahan dari guru atau kurikulum yang ditetapkan. Konsep belajar mandiri.
Keterbukaan, berbasis masyarakat, pendekatan secara langsung ke dunia pendidikan - siapapun, apapun dan di manapun dimungkinkan dalam belajar.
Unschoolers bisa menggunakan buku teks open source seperti yang ditemukan di web www.ck12.0rg (CK-12 Flexbooks), mengambil kelas online melalui program seperti Open Learning Carnegie Mellon - http://oli.web.cmu.edu, atau melanjutkan ke kursus personal di perguruan tinggi setempat.
Unschooling memungkinkan anak memutuskan apa, kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa mereka harus belajar. Memperlakukan pendidikan secara holistik di mana pengetahuan secara alami saling berhubungan, tidak terkotak-kotak ke dalam mata pelajaran atau kelas yang terpisah.
Orang tua/wali siswa dari unschoolers mengakui bahwa belajar tidak selalu berurutan atau linier.
Ini berarti bahwa unschoolers dapat belajar aljabar dari menonton video pendidikan dari Khan Academy(www.khanacademy.org) pada usia lebih dini daripada di sekolah konvensional.
Mereka bisa belajar perkalian sebelum menguasai pengurangan. Mereka bisa membuat cerita sendiri secara interaktif, game, animasi, atau simulasi dengan Scratch, bahasa pemrograman MIT, atau membuat pembelajaran mereka sendiri kubus 3D atau koleksi video, audio, gambar, atau menggunakan teks di museumbox.e2bn.org .
Siswa dapat membuat konten digital mereka sendiri, dan membaginya, dan intinya adalah berperan atau menjadi bagian aktif dalam gerakan open source.
Mereka menciptakan masyarakat berdasarkan kebutuhan saling berbagi dan menyediakan sumber daya terbuka untuk semua orang.
Ini adalah cara untuk belajar dengan sedikit biaya. Orang tua dan anak-anak belajar untuk blogging atau membuat website sendiri, dan dapat bergabung dengan kelompok online atau offline berbagi tentang berita, kegiatan, dan informasi.
Mereka mengorganisir kunjungan lapangan, pertemuan masyarakat, magang, dan bahkan ilmu pengetahuan.
Kritikan pada unschooling bahwa anak-anak tidak mendapatkan sumber daya yang mereka butuhkan untuk membangun pengetahuan dasar atau kurangnya interaksi sosial yang mereka butuhkan untuk berurusan dengan dunia nyata. Argumen-argumen tersebut terbantahkan dengan dunia digital semakin global, jumlah jaringan, dan sumber daya open source yang bebas dibuat dan disediakan secara luas dan mudah diakses.
Di Amerika Serikat memperkirakan bahwa 1,5 juta siswa belajar di rumah-ini berarti 2,9% (dari semua siswa di AS) untuk tahun 2007.
Angka ini meningkat 36% sejak studi terakhir pada tahun 2003.
Setiap negara memiliki kebijakannya sendiri mengenai homeschooling atau unschooling dan daerah dapat menetapkan aturan mereka sendiri pada pendidikan tersebut.
Akibatnya, sulit untuk mendapatkan data sebenarnya dari berapa banyak unschoolers berada.
Beberapa percaya bahwa penduduk Unschool mewakili 10% atau lebih dari homeschoolers. Unschool di jaringan lokal, negara, dan regional sangat berlimpah di Amerika Serikat.
Terdapat kelompok unschoolers dari semua kelompok populasi, lapisan masyarakat, penganut kepercayaan, dan tingkat pendidikan: Afrika Amerika,Cina, Hispanik, Kristen, Yahudi, Muslim, kelas khusus, kelas percepatan, atau dari keluarga kaya dan miskin. Orang tua tunggal dan tinggal di rumah, serta orang tua yang bekerja paruh waktu atau sebaliknya.
Seperti halnya dengan gerakan open source, unschooling bukan sesuatu yang eksklusif untuk Amerika Serikat dan menjadi sebuah fenomena global.
Unschoolers dapat ditemukan di India, Israel, Kanada, bagian dari Eropa, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, dan Malaysia. Bahkan Sugata Mitra (http://www.greenstar.org/butterflies/Hole-in-the-Wall.htm) telah menunjukkan bahwa anak-anak dari daerah kumuh di New Delhi, dengan sedikit atau tidak memiliki pendidikan atau pengetahuan bahasa Inggris, bisa mengajarkan diri mereka sendiri dan satu sama lain jika mereka termotivasi oleh rasa ingin tahu.
Namun, di banyak negara, unschooling atau homeschooling adalah ilegal atau ada pembatasan secara kaku. Beberapa orang tua di Jerman dan Swedia telah menghadapi hukuman penjara, denda berat, kehilangan hak asuh anak. Akibatnya, homeschooling menjadi isu kemanusiaan global dari negara yang melarang atau menjatuhkan sanksi atasnya.
Ini menjadi menarik untuk melihat bagaimana gerakan unschooling dan open source terangkat.
Gerakan Unschooling dan open source menantang pendapat kita tentang akal, pendidikan mandiri, membangun kepercayaan diri sendiri, dan motivasi diri.
Ini bertentangan dengan konsep pengetahuan berada di segelintir orang (media pendidikan formal/pemerintah).
Jika kita senang melihat gairah (gelembung kecil) anak-anak dengan kecintaan untuk membaca, tetapi terlebih lagi jika melihat mereka meledak dengan open source- dan ini harapan untuk masa depan.
Sumber dan Gambar:
Terjemahan dari http://opensource.com/education/12/3/unschooling-open-source-way
Oleh: Carolyn Fox
ini maksudnya gerakan tidak sekolah tapi belajar sendiri?
BalasHapusTidak sekolah di lembaga formal dalam artian.
HapusUnschooling (belajar diluar lembaga formal)/ homeschooling adalah model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Memilih untuk bertanggungjawab berarti orangtua terlibat langsung menentukan proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan, kurikulum dan materi, serta metode dan praktek belajar
Banyaknya orangtua (masyarakat) yang tidak puas dengan hasil sekolah formal mendorong orangtua mendidik anaknya di rumah. Kerapkali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan bersosial (nilai-nilai iman dan moral). Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau membeli ijazah palsu. Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan. Ditambah lagi, identitas anak distigmatisasi dan ditentukan oleh teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau lebih “cerdas”. Keadaan demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan.
Perkembangan homeschooling di Indonesia semakin meningkat. Semoga bisa meningkatkan kemajuan pendidikan di Indonesia
BalasHapussemoga dan bangkit untuk Indonesia...
Hapusberbagi kata kata motivasi gan,
BalasHapusInginkanlah yang mudah, tetapi jangan lupakan keharusan mu untuk menjadi lebih kuat. Bukan pemberian yang mudah yang akan memudahkan hidup mu, tetapi kemampuan yang menjadikan mu pantas bagi semua pemberian besar – yang tidak mudah untuk didapat itu, yang akan menjadikan mu penegak kehidupan yang berjaya.
semoga dapat di terima yah :D
oke Miss ooo miss atawa man?
Hapusseperti yang pernah saya tuliskan bahwa seperti sabar, belajarpun sebenarnya tidak berbatas. tidak terbatas hanya di bangku sekolah, tapi juga di bangku khidupan. tidak hanya pada buku-buku teks, tapi juga pada buku cerita. dan hasil pendidikan yang baik semestinya tidak hanya membuat seseorang cerdas di atas kertas, tapi culas di atas pentas ( kehidupan ), namun cerdas di keduanya.
BalasHapuskalau memilih homeschooling ortu harus mendukung penuh dan bertanggung jawab untuk kelancarannya ya
BalasHapusterkait dengan implementasi Open Source, bisa diunduh artikel berikut http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/1169/1/50407311.pdf
BalasHapusterimakasih rekan hanum, sudah saya unduh dan link-nya sudah saya amankan di tab-media belajar siswa
Hapuskita juga punya nih artikel mengenai Open Source, silahkan dikunjungi dan dibaca untuk menambah wawasan, berikut linknya
BalasHapushttp://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/1169/1/50407311.pdf
trimakasih