"Anak SD juga sangat memerlukan kegiatan belajar mengajar yang sifatnya praktik (life skill sejak dini). Hal ini akan membuat mereka senang dan wawasannya juga akan berkembang"
Seorang psikolog bernama Lev Vigotsky pernah mengungkapkan bahwa setiap manusia mempunyai potensi, dan potensi itu dapat teraktualisasi melalui ketuntasan belajar tertentu. Tetapi antara potensi dan ketuntasan terdapat wilayah abu-abu. Seorang guru berkewajiban menyibak wilayah abu-abu itu menjadi teraktualisasi. Jika tidak melalui dirinya, maka siguru itu dapat meminta bantuan scaffolding yaitu orang yang lebih ahli, lebih terampil untuk membantu anak memperoleh hasil belajar yang lebih baik.Jika ungkapan Vigotsky tersebut dicerminkan pada pendidikan di Indonesia khususnya pada jenjang Sekolah Dasar, sudah barang tentu para guru SD juga dituntut bisa mengurai wilayah abu-abu tersebut. JIka tidak niscaya aspek kognitif, afektif dan motorik anak akan berkembang tidak seimbang.
Beruntunglah saat ini Indonesia punya kurikulum yang sekarang lebih berpusat kepada siswa, dan ini sudah dimulai sejak tahun 1992 melalui program SEQIP(Science Education Quality Improvement Project). Salah satu tujuannya adalah untuk mendongkrak hasil belajar siswa SD khususnya dalam bidang IPA-Matematika melalui pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered learning) dan beroreantasi pada ketrampilan (process skill).
Proses pembelajaran berpusat pada anak dengan oreantasi pada ketrampilan tampaknya tidak berjalan semestinya saat itu. Salah satu penyebabnya tak lain adalah kurikulum 1994 yang dipandang padat isi, dan oreantasinya lebih berpusat pada guru. Anak lebih diposisikan sebagai pendengar setia ceramah guru, namun dituntut bisa memahami. Aspek motorik anak seolah benar-benar terisolasi, karena cuma dijejali beragam teori saja.
Dan sebenarnya aspek motorik anak sudah mulai terlihat sejak usia dini atau TK, dan itu harus terus dikembangkan ketika mereka memasuki jenjang SD.
Anak SD juga sangat memerlukan kegiatan belajar mengajar yang sifatnya praktik (life skill sejak dini). Hal ini akan membuat mereka senang dan wawasannya juga akan berkembang. Namun pengembangan ketrampilan atau life skill pada usia SD semata hanya untuk mendongkrak akademik siswa. Bukan diarahkan pada ketrampilan dengan oreantasi hasil yang segera dapat dipanen. Ketrampilan yang diberikanpun hendaknya ringan dan bersifat rekreatif atau menyenangkan.
Dalam pengembangannya life skill sejak dini tak ada salahnya bila seorang guru memulai dengan memilah beberapa pertanyaan:
Pertama kemampuan apa yang relevan dipelajari anak di sekolah atau kemampuan apa yang harus anak kuasai setelah menyelesaikan satuan program belajar tertentu.
Kedua, bahan ajar apa yang harus dipakai sehingga ada jaminan setelah menggunakannya si anak akan menguasai kemampuan tersebut.
Ketiga, kegiatan dan pengalaman belajar seperti apa yang dialami sendiri oleh anak sehingga ia terpacu mempelajari hal-hal yang perlu dikuasai.
Keempat, adalah fasilitas, alat dan sumber belajar apa yang perlu disediakan untuk mendukung kepemilikan kemampuan yang diinginkan tersebut.
Dengan peran demikian maka tak ada alasan bagi guru bersama kepala sekolah untuk tidak menjadikan sekolah sebagai a place for better learning. Karena dalam jenjang berikutnya selain sekolah tetap melayani program-program akademiknya, sekolah harus mampu menyediakan program pembelajaran yang dapat memberikan jaminan kepemilikan "life skill" yang dioreantasikan ada penguasaan spesific occuvational skills. Kemampuan tersebut diperlukan oleh setiap anak usia dini.
Sumber disarikan dari Edu Benchmark.
belajar itu memang harus begitu, teori dan diimbangi dg praktik... hehe..
BalasHapussalam
belajar memang harus sejak dini... dan tentunya juga harus dengan praktek.
BalasHapusPEndidikan sejak dini lebih gampang diingat..
BalasHapusHarus itu pak, kalau gak anak2 pada banyak yang bingung nanti kalau sudah wisuda di kemudian hari.. Karena yang mereka butuhkan sebenarnya bukan sekedar teori, tapi life skill yang akan membantu mereka hidup di kemudian hari..
BalasHapusMasyarakat dan orang tua juga punya kewajiban untuk mengawal pendidikan yang dilakukan sekolah. Sehingga program pembelajaran yang ditawarkan sekolah kepada peserta didik kemudian dapat memberikan jaminan kepemilikan "life skill".
BalasHapuspintar2 mencari sekolah yang baik kalau begitu ya
BalasHapussalam sobat
BalasHapusbenar mas, sekolah harus mampu memberikan program pembelajaran dan jaminan kepemilikan life skill.
Aq dulu sekolah makin tinggi malah makin goblok xixixi. Teori ga nyambung skill nya jg nol. Kerasnya khdpn yg malah buat aq pny lifeskill xixixi
BalasHapusBener, kita harus tanaman skill di semua mata pelajaran dan jangan menbuat murid2 menjadi pendengar yang baik, salam kenal
BalasHapusdlm sekolah memanh banyak teorinya,
BalasHapusbaru diimbangi dgn 'pratikum-nya :P
Jadi guru SD pun sekarang harus sama pintar dengan guru SMP dan SMA dong yah..
BalasHapus