Lebih kepada pemahaman tentang pentingnya pengajaran etika sosial pada dunia maya. Kalah bersaingnya media massa dengan dunia jejaring sosial dan blogosphere telah mengaburkan perbedaan antara konsumen dan produsen. Tidak seperti orangtua mereka (jaman dahulu), yang hidup hanya sebagai penonton manis,tidak bisa ikut andil pada media dijaman itu, saat ini dengan mudahnya kita dapat mengunggah tulisan,gambar/foto dan video, di samping kemudahan untuk mengunduhnya pula. Apakah ini sebagai sebuah trend baru ? (yang memberdayakan semua masyarakat dapat berbuat dan berbicara dengan bebas, jujur tapi juga sembrono), dan hal ini menuntut para guru untuk mengembangkan ide mereka tentang "pengajaran etika sosial."
Seperti dua gadis SMP yang mengambil foto gadis (temannya) dilain kelas, kemudian diposting di web, ditulis "call me for a good time," dan disertakan berikut nomor telepon gadis itu. Dan malamnya, siswa ini tidak curiga ketika menerima puluhan telepon dari laki-laki yang dua, tiga kali diatas usianya. Untuk remaja sekarang, ini adalah hal biasa, keisengan dan kenakalan yang "menyenangkan". Namun, bisa berakibat jauh lebih gawat dari perkiraan. Siapa yang tahu, jika ada orang-orang yang memang berniat mesum, mencari untuk menemukan alamat rumah, dan "mengunjunginya"?
Bahaya dari jejaring sosial, blogging dan upload gambar/foto yang berlebihan, mempublikasikan data yang bersifat pribadi, dari sekedar iseng sampai ingin top/populer di dunia maya, adalah potensi yang sudah memberikan warna buram pada segala bentuk etika di panggung publik.
Pertanyaannya sekarang,"Dari apa yang sudah terjadi, bagaimana guru harus berbuat? Apakah mereka bertanggung jawab pada kasus dan lelucon tidak lucu siswa mereka di luar kelas?
Namun sebelumnya, tidak berarti kita perlu penekanan berlebihan pada pengembangan kesadaran etis di usia dini. Kemajuan IT memang mengubah gaya kenakalan siswa yang dahulu dibatasi oleh gaya informasi sederhana: seperti coretan dengan tangan, grafiti pada dinding, telepon. Sekarang, siswa memiliki kekuatan untuk mempublikasi diri mereka layaknya jurnalis profesional.
Dari pandangan itu, tidakkah kita perlu mengajarkan etika? Sebagai guru, kita perlu mempromosikan pengajaran etika dengan tidak hanya mengajarkan penghormatan dan penghargaan atas keragaman budaya, ras, jenis kelamin dan kelas sosial-ekonomi, tetapi dengan menggunakan konteks kelas untuk mengembangkan empati siswa pada masalah benar dan salah.
Saya (Tristram Hewitt) sudah berusaha untuk melakukan hal ini dengan menciptakan pengalaman emosional yang bermakna. Dalam satu waktu, pada kegiatan pembelajaran, saya memberikan siswa permainan kartu dan mengatakan kepada mereka bahwa mereka tidak diizinkan untuk melihat kartu. Siswa harus menempatkan kartu masing-masing di dahi dan berbaur dengan rekan-rekan mereka, memperlakukan satu sama lain sesuai dengan nilai kartu pada dahi. Siswa dengan kartu Raja, misalnya, diperlakukan seperti raja, sedangkan siswa dengan angka dua di dahinya diabaikan.
Salah satu siswa berkomentar, "Ini keterlaluan, kartu hitam diperlakukan seperti kotoran tanpa alasan " yang lain menjawab," Ini tak masuk akal, mendapatkan angka dua atau sembilan secara acak dan kemudian itu menjadi status diri kita". Seorang siswa yang lebih matang membalas," Ini seperti kelompok-kelompok sosial di sekolah. Para siswa yang aktif diolahraga (basket dan lainnya) dan gadis-gadis cantik diperlakukan seperti raja tanpa alasan yang baik. Kemudian anak-anak yang pendek dan gemuk tidak dianggap, hanya karena kondisi fisik mereka".
Pada akhirnya, siswa tidak hanya paham pada yang terjadi jika terdapat pemisahan ras, dan mereka bisa merasakan adanya sesuatu yang salah, Jim Crow (ahli hukum dan undang-undang), "jika mereka bisa belajar dari hubungan pelajaran etika di kelas dengan kehidupan mereka sendiri, mereka mungkin saat menggunakan keyboard mereka, mouse, dan kamera video akan lebih bertanggung jawab.
Sumber: Tristram Hewitt EdM, adalah guru Sosial di Phoenix Charter Academy. Dia memulai karirnya dengan mengajar ESL di sekolah internasional di Mexico City. Setelah itu, ia kembali ke Amerika Serikat dan mulai bekerja di Epiphany School di mana ia menghabiskan dua tahun mengajar matematika dan ilmu sosial. Ia lulus dengan gelar dalam Ilmu Sosial dari Universitas Harvard pada 2003 dan meraih EdM dari Boston College pada tahun 2006.
http://www.edarticle.com/article
Seperti dua gadis SMP yang mengambil foto gadis (temannya) dilain kelas, kemudian diposting di web, ditulis "call me for a good time," dan disertakan berikut nomor telepon gadis itu. Dan malamnya, siswa ini tidak curiga ketika menerima puluhan telepon dari laki-laki yang dua, tiga kali diatas usianya. Untuk remaja sekarang, ini adalah hal biasa, keisengan dan kenakalan yang "menyenangkan". Namun, bisa berakibat jauh lebih gawat dari perkiraan. Siapa yang tahu, jika ada orang-orang yang memang berniat mesum, mencari untuk menemukan alamat rumah, dan "mengunjunginya"?
Bahaya dari jejaring sosial, blogging dan upload gambar/foto yang berlebihan, mempublikasikan data yang bersifat pribadi, dari sekedar iseng sampai ingin top/populer di dunia maya, adalah potensi yang sudah memberikan warna buram pada segala bentuk etika di panggung publik.
Pertanyaannya sekarang,"Dari apa yang sudah terjadi, bagaimana guru harus berbuat? Apakah mereka bertanggung jawab pada kasus dan lelucon tidak lucu siswa mereka di luar kelas?
Namun sebelumnya, tidak berarti kita perlu penekanan berlebihan pada pengembangan kesadaran etis di usia dini. Kemajuan IT memang mengubah gaya kenakalan siswa yang dahulu dibatasi oleh gaya informasi sederhana: seperti coretan dengan tangan, grafiti pada dinding, telepon. Sekarang, siswa memiliki kekuatan untuk mempublikasi diri mereka layaknya jurnalis profesional.
Dari pandangan itu, tidakkah kita perlu mengajarkan etika? Sebagai guru, kita perlu mempromosikan pengajaran etika dengan tidak hanya mengajarkan penghormatan dan penghargaan atas keragaman budaya, ras, jenis kelamin dan kelas sosial-ekonomi, tetapi dengan menggunakan konteks kelas untuk mengembangkan empati siswa pada masalah benar dan salah.
Saya (Tristram Hewitt) sudah berusaha untuk melakukan hal ini dengan menciptakan pengalaman emosional yang bermakna. Dalam satu waktu, pada kegiatan pembelajaran, saya memberikan siswa permainan kartu dan mengatakan kepada mereka bahwa mereka tidak diizinkan untuk melihat kartu. Siswa harus menempatkan kartu masing-masing di dahi dan berbaur dengan rekan-rekan mereka, memperlakukan satu sama lain sesuai dengan nilai kartu pada dahi. Siswa dengan kartu Raja, misalnya, diperlakukan seperti raja, sedangkan siswa dengan angka dua di dahinya diabaikan.
Salah satu siswa berkomentar, "Ini keterlaluan, kartu hitam diperlakukan seperti kotoran tanpa alasan " yang lain menjawab," Ini tak masuk akal, mendapatkan angka dua atau sembilan secara acak dan kemudian itu menjadi status diri kita". Seorang siswa yang lebih matang membalas," Ini seperti kelompok-kelompok sosial di sekolah. Para siswa yang aktif diolahraga (basket dan lainnya) dan gadis-gadis cantik diperlakukan seperti raja tanpa alasan yang baik. Kemudian anak-anak yang pendek dan gemuk tidak dianggap, hanya karena kondisi fisik mereka".
Pada akhirnya, siswa tidak hanya paham pada yang terjadi jika terdapat pemisahan ras, dan mereka bisa merasakan adanya sesuatu yang salah, Jim Crow (ahli hukum dan undang-undang), "jika mereka bisa belajar dari hubungan pelajaran etika di kelas dengan kehidupan mereka sendiri, mereka mungkin saat menggunakan keyboard mereka, mouse, dan kamera video akan lebih bertanggung jawab.
Sumber: Tristram Hewitt EdM, adalah guru Sosial di Phoenix Charter Academy. Dia memulai karirnya dengan mengajar ESL di sekolah internasional di Mexico City. Setelah itu, ia kembali ke Amerika Serikat dan mulai bekerja di Epiphany School di mana ia menghabiskan dua tahun mengajar matematika dan ilmu sosial. Ia lulus dengan gelar dalam Ilmu Sosial dari Universitas Harvard pada 2003 dan meraih EdM dari Boston College pada tahun 2006.
http://www.edarticle.com/article
Canggihnya IT kalo tdk diimbangi dgn etika sosial akibatnya bs sngt fatal ya pak
BalasHapusSaya suka ngeri liat teman sesama TKW yg suka over dosis upload foto yg seharusnya tdk di upload. Apa ini satu bentuk kekatrok'an ya? Yg dl dijamannya ga ada dan skrg ada. Jd ekspresinya suka berlebihan hehe
sebetulnya, kesadaran individu-lah yang paling utama, pelajaran dr luar hanya sebagai pendukung..heheh, itu menrtku :D
BalasHapus*maaf terlambat mas, aku ucapin met hari raya idul fitri 1432H ya mas..mohon maaf lahir batin, apabila ada postinganku di blogku dan komentar2ku di blog ini tidak berkenan di hati mas..
salam.. :)
ih seram juga ya kalau kejadian seperti itu. sebagai orang tua harus sering mengingatkan anak nih,mudah2an saya bisa
BalasHapusDengan segala kemajuan teknologi yang ada, anak2 jaman sekarang memang cenderung 'berani'. Semoga pagar pendidikan etika dari guru dan orang tua dapat melindungi para generasi penerus ini...
BalasHapusSalam kenal dan sekedar berbagi...
BalasHapusBerikut adalah link yang cukup relevan dan semoga bermanfaat bagi pembaca.
http://1dunia.net/2010/10/etika-partisipasi-media-sosial/