Kita tidak dapat berharap banyak untuk menciptakan sekolah yang aman, nyaman, suka bekerja sama dan dapat menampung keragaman tanpa memahami, menghormati dan menyambut keberagaman budaya di komunitas sekolah.
Karena saya, kamu, dia dan mereka merupakan model atau contoh peran bagi generasi mendatang, terpenting adalah lebih dahulu memahami cara mengatasi perbedaan budaya dan kemudian secara efektif menangani perbedaan ini sebagai upaya menggapai semua warga sekolah.
Jika sasarannya adalah menyiapkan siswa agar memahami dan menangani beragam budaya yang memasyarakat, maka kita memiliki tanggung jawab untuk memahami dan menyelesaikan keragaman tersebut terlebih dahulu dengan sesama rekan sebelum "mengajarkannya" di kelas.
Banyak orang, baik anak maupun orang dewasa tidak mengerti atau tidak mau mengetahui terhadap dampak latar belakang pribadi, sifat orang lain, pada cara mereka menangani masalah. Kita juga mengetahui bahwa pendidikan bahkan tingkatannya tidak berjalan sama dengan pemahaman dalam pembiasaan menangani diskriminasi.
Pada suatu penelitian yang diterbitkan oleh Departemen Perdagangan A.S memperlihatkan bahwa umumnya orang Amerika keturunan Hispanik (Amerika Latin) dan keturunan Afrika masih sangat beresiko untuk putus sekolah dari pada orang Amerika kulit putih. Orang Amerika keturunan Asia juga menghadapi tantangan rasial. Seperti, meskipun orang Amerika keturunan Asia jauh lebih cenderung memiliki gelar pendidikan tinggi daripada orang Amerika kulit putih, mereka mendapat gaji yang titik tengahnya lebih rendah.
Melalui pendidikan, ketidaksetaraan ini dapat dikoreksi dan keragaman dapat dipertahankan sebagai kekuatan dalam menangani perpecahan.
Sekolah merupakan tempat alami untuk mulai menjembatani kesenjangan budaya ini.
Siswa belajar berprasangka buruk pada usia muda dan melalui pengalaman kehidupan mereka. Jika mereka dapat belajar berprasangka buruk, maka mereka juga dapat untuk tidak mempelajarinya.
Guru mengetahui benar pada masalah ini, bahwa perbedaan terkadang dapat menyebabkan konflik pada siswa dengan teman sebayanya. Penting bagi siswa untuk mengerti bahwa tingkat toleransi mereka kepada siswa lain bergantung pada tingkat keluwesan, kemampuan menyesuaikan, ketrampilan antar pribadi dan pengalaman harian mereka. Meskipun guru dan siswa tidak pernah bebas dari prasangka buruk, kita dapat menjadi lebih memahami dan toleran terhadap perbedaan antar rekan sendiri dan teman sebaya, sekaligus menghindari dampak umum yang diwariskan ke generasi masa mendatang.
Sumber tulisan dan gambar:
PD&HD, SiriNam S.Khalsa
http://www.google.co.id/imghp?hl=id&tab=wi
Karena saya, kamu, dia dan mereka merupakan model atau contoh peran bagi generasi mendatang, terpenting adalah lebih dahulu memahami cara mengatasi perbedaan budaya dan kemudian secara efektif menangani perbedaan ini sebagai upaya menggapai semua warga sekolah.
Jika sasarannya adalah menyiapkan siswa agar memahami dan menangani beragam budaya yang memasyarakat, maka kita memiliki tanggung jawab untuk memahami dan menyelesaikan keragaman tersebut terlebih dahulu dengan sesama rekan sebelum "mengajarkannya" di kelas.
Banyak orang, baik anak maupun orang dewasa tidak mengerti atau tidak mau mengetahui terhadap dampak latar belakang pribadi, sifat orang lain, pada cara mereka menangani masalah. Kita juga mengetahui bahwa pendidikan bahkan tingkatannya tidak berjalan sama dengan pemahaman dalam pembiasaan menangani diskriminasi.
Pada suatu penelitian yang diterbitkan oleh Departemen Perdagangan A.S memperlihatkan bahwa umumnya orang Amerika keturunan Hispanik (Amerika Latin) dan keturunan Afrika masih sangat beresiko untuk putus sekolah dari pada orang Amerika kulit putih. Orang Amerika keturunan Asia juga menghadapi tantangan rasial. Seperti, meskipun orang Amerika keturunan Asia jauh lebih cenderung memiliki gelar pendidikan tinggi daripada orang Amerika kulit putih, mereka mendapat gaji yang titik tengahnya lebih rendah.
Melalui pendidikan, ketidaksetaraan ini dapat dikoreksi dan keragaman dapat dipertahankan sebagai kekuatan dalam menangani perpecahan.
Sekolah merupakan tempat alami untuk mulai menjembatani kesenjangan budaya ini.
Siswa belajar berprasangka buruk pada usia muda dan melalui pengalaman kehidupan mereka. Jika mereka dapat belajar berprasangka buruk, maka mereka juga dapat untuk tidak mempelajarinya.
Guru mengetahui benar pada masalah ini, bahwa perbedaan terkadang dapat menyebabkan konflik pada siswa dengan teman sebayanya. Penting bagi siswa untuk mengerti bahwa tingkat toleransi mereka kepada siswa lain bergantung pada tingkat keluwesan, kemampuan menyesuaikan, ketrampilan antar pribadi dan pengalaman harian mereka. Meskipun guru dan siswa tidak pernah bebas dari prasangka buruk, kita dapat menjadi lebih memahami dan toleran terhadap perbedaan antar rekan sendiri dan teman sebaya, sekaligus menghindari dampak umum yang diwariskan ke generasi masa mendatang.
Sumber tulisan dan gambar:
PD&HD, SiriNam S.Khalsa
http://www.google.co.id/imghp?hl=id&tab=wi
dimanapun pasti ada perbedaan ya, pintar2 kita bisa menerima perbedaan itu
BalasHapusKalo ga pinter2 menyikapi perbedaan pasti berantem hehe.
BalasHapusPerbedaan adalah rahmah,.
BalasHapusselagi dalam batas kewajaran,, pintar''lah untuk bisa memilih dan memisahkan yang terbaik bagi diri khususnya dan bagi orang lain..
Perbedaan kadang membuat kita melupakan arti manusia sebagai mahluk sosial, bahkan sering mengenyampingkan hati-nurani.. Berbeda itu bukan sikap yang mesti dihindari. Sebab kita tak mungkin bisa menghindarkan diri dari perbedaan...
BalasHapus