Sebagai bahan tambahan materi Sejarah-Praaksara, untuk analisis siswa dalam berpikir diakronis dan sinkronis, yaitu mengenai Sundaland-Paparan Sunda (benarkah?) adalah atlantis yang hilang?
(Pandangan dari sisi Geologi dan Peluang dari spekulasi Ilmiah).
Siswa dapat menganalisis evolusi/perubahan sesuatu dari waktu ke waktu, yang memungkinkan siswa untuk menilai bagaimana sesuatu perubahan itu terjadi sepanjang masa.Sehingga memungkinkan siswa untuk bertanya,"MENGAPA" terhadap keadaan tertentu lahir dari keadaan sebelumnya atau "MENGAPA" keadaan tertentu berkembang / berkelanjutan.
Dan PERLU DITEGASKAN DISINI BAHWA siswa dapat menganalisa kondisi yang terjadi pada masa tertentu, tidak tetap pada waktunya(meluas), serta melihat dengan keadaan sekarang walau BUKAN untuk menyimpulkan atau MELAKUKAN PEMBENARAN bahwa sesuatu yang terjadi dimasa lalu adalah benar-benar berkontribusi dengan kondisi sekarang.
”Mitos” atau cerita tentang benua Atlantis yang hilang pertama kali dicetuskan oleh seorang filosof terkenal dari Yunani bernama Plato (427 - 347 SM) dalam bukunya berujudl Critias and Timaeus.
Penduduknya dianggap dewa, makhluk luar angkasa atau bangsa superior. Plato berpendapat bahwa peradaban dari para peghuni benua Atlantis yang hilang itulah sebagai sumber peradaban manusia saat ini.
Hampir semua tulisan tentang sejarah peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan ‘pinggiran’.
Kawasan yang kebudayaannya dapat subur berkembang hanya karena imbas migrasi manusia atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain, baik yang berpusat di Mesir, Cina, maupun India.
Pemahaman tersebut mengacu pada teori yang dianut saat ini yang mengemukakan bahwa pada Jaman Es paling akhir yang dialami bumi terjadi sekitar 10.000 sampai 8.000 tahun yang lalu mempengaruhi migrasi spesies manusia.
Jaman Es terakhir ini dikenal dengan nama periode Younger Dryas. Pada saat ini, manusia telah menyebar ke berbagai penjuru bumi berkat ditemukannya cara membuat api 12.000 tahun yang lalu. Dalam kurun empat ribu tahun itu, manusia telah bergerak dari kampung halamannya di padang rumput Afrika Timur ke utara, menyusuri padang rumput purba yang kini dikenal sebagai Afrasia.
Padang rumput purba ini membentang dari pegunungan Kenya di selatan, menyusuri Arabia, dan berakhir di pegunungan Ural di utara. Jaman Es tidak mempengaruhi mereka karena kebekuan itu hanya terjadi di bagian paling utara bumi sehingga iklim di daerah tropik-subtropik justru menjadi sangat nyaman. Adanya api membuat banyak masyarakat manusia betah berada di padang rumput Afrasia ini.
Maka, ketika para ilmuwan barat berspekulasi tentang keberadaan benua Atlantis yang hilang, mereka mengasumsikan bahwa lokasinya terdapat di belahan bumi Barat, di sekitar laut Atlantik, atau paling jauh di sekitar Timur Tengah sekarang.
Penelitian untuk menemukan sisa Atlantis pun banyak dilakukan di kawasan-kawasan tersebut.
Namun di akhir dasawarsa 1990, kontroversi tentang letak Atlantis yang hilang mulai muncul berkaitan dengan pendapat dua orang peneliti, yaitu:
Oppenheimer (1999) dan Santos (2005).
KONTROVERSI DAN REKONTRUKSI OPPENHEIMER
Kontroversi tentang sumber peradaban dunia muncul sejak diterbitkannya buku Eden The East (1999) oleh Oppenheimer, Dokter ahli genetik yang banyak mempelajari sejarah peradaban. Ia berpendapat bahwa Paparan Sunda (Sundaland) adalah merupakan cikal bakal peradaban kuno atau dalam bahasa agama sebagai Taman Eden.
Istilah ini diserap dari kata dalam bahasa Ibrani Gan Eden. Dalam bahasa Indonesia disebut Firdaus yang diserap dari kata Persia "Pairidaeza" yang arti sebenarnya adalah Taman.
Menurut Oppenheimer, munculnya peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Cina justru dipicu oleh kedatangan para migran dari Asia Tenggara.
Landasan argumennya adalah etnografi, arkeologi, osenografi, mitologi, analisa DNA, dan linguistik. Ia mengemukakan bahwa di wilayah Sundaland sudah ada peradaban yang menjadi leluhur peradaban Timur Tengah 6.000 tahun silam.
Suatu ketika datang banjir besar yang menyebabkan penduduk Sundaland berimigrasi ke barat yaitu ke Asia, Jepang, serta Pasifik. Mereka adalah leluhur Austronesia.
Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari saat berakhirnya puncak Jaman Es (Last
Glacial Maximum) sekitar 20.000 tahun yang lalu. Ketika itu, muka air laut masih sekitar 150 m di bawah muka air laut sekarang.
Kepulauan Indonesia bagian barat masih bergabung dengan benua Asia menjadi dataran luas yang dikenal sebagai Sundaland.
Namun, ketika bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan mengakibatkan banjir besar yang melanda dataran rendah di berbagai penjuru dunia.
Data geologi dan oseanografi mencatat setidaknya ada tiga banjir besar yang terjadi yaitu pada sekitar 14.000, 11.000, dan 8,000 tahun yang lalu.
Banjir besar yang terakhir bahkan menaikkan muka air laut hingga 5-10 meter lebih tinggi dari yang sekarang. Wilayah yang paling parah dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan pantai Cina Selatan.
Sundaland malah menjadi pulau-pulau yang terpisah, antara lain Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatera.
Padahal, waktu itu kawasan ini sudah cukup padat dihuni manusia prasejarah yang berpenghidupan sebagai petani dan nelayan.
Bagi Oppenheimer, kisah ‘Banjir Nuh’ atau ‘Benua Atlantis yang hilang’ tidak lain adalah rekaman budaya yang mengabadikan fenomena alam dahsyat ini.
Di kawasan Asia Tenggara, kisah atau legenda seperti ini juga masih tersebar luas diantara masyarakat tradisional, namun belum ada yang meneliti keterkaitan legenda dengan fenomena Taman Eden.
Demikian paparan dari peluang spekulasi ilmiah untuk Sejarah Indonesia, dan bukan menjadi mutlak, tetapi perlu disimpan sebagai bahan wawasan dan bisa jadi suatu saat akan "terbuka" kembali dengan fakta-fakta yang semakin kuat.
Sumber:BENARKAH SUNDALAND ITU ATLANTIS YANG HILANG?
(Pandangan dari Sisi Geologi dan Peluang dari Spekulasi Ilmiah)
Oleh : Oki Oktariadi* (oki@plg.esdm.go.id)
Gambar:armanyulianta.wordpress.com
(Pandangan dari sisi Geologi dan Peluang dari spekulasi Ilmiah).
Siswa dapat menganalisis evolusi/perubahan sesuatu dari waktu ke waktu, yang memungkinkan siswa untuk menilai bagaimana sesuatu perubahan itu terjadi sepanjang masa.Sehingga memungkinkan siswa untuk bertanya,"MENGAPA" terhadap keadaan tertentu lahir dari keadaan sebelumnya atau "MENGAPA" keadaan tertentu berkembang / berkelanjutan.
Dan PERLU DITEGASKAN DISINI BAHWA siswa dapat menganalisa kondisi yang terjadi pada masa tertentu, tidak tetap pada waktunya(meluas), serta melihat dengan keadaan sekarang walau BUKAN untuk menyimpulkan atau MELAKUKAN PEMBENARAN bahwa sesuatu yang terjadi dimasa lalu adalah benar-benar berkontribusi dengan kondisi sekarang.
”Mitos” atau cerita tentang benua Atlantis yang hilang pertama kali dicetuskan oleh seorang filosof terkenal dari Yunani bernama Plato (427 - 347 SM) dalam bukunya berujudl Critias and Timaeus.
Penduduknya dianggap dewa, makhluk luar angkasa atau bangsa superior. Plato berpendapat bahwa peradaban dari para peghuni benua Atlantis yang hilang itulah sebagai sumber peradaban manusia saat ini.
Hampir semua tulisan tentang sejarah peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan ‘pinggiran’.
Kawasan yang kebudayaannya dapat subur berkembang hanya karena imbas migrasi manusia atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain, baik yang berpusat di Mesir, Cina, maupun India.
Pemahaman tersebut mengacu pada teori yang dianut saat ini yang mengemukakan bahwa pada Jaman Es paling akhir yang dialami bumi terjadi sekitar 10.000 sampai 8.000 tahun yang lalu mempengaruhi migrasi spesies manusia.
Jaman Es terakhir ini dikenal dengan nama periode Younger Dryas. Pada saat ini, manusia telah menyebar ke berbagai penjuru bumi berkat ditemukannya cara membuat api 12.000 tahun yang lalu. Dalam kurun empat ribu tahun itu, manusia telah bergerak dari kampung halamannya di padang rumput Afrika Timur ke utara, menyusuri padang rumput purba yang kini dikenal sebagai Afrasia.
Padang rumput purba ini membentang dari pegunungan Kenya di selatan, menyusuri Arabia, dan berakhir di pegunungan Ural di utara. Jaman Es tidak mempengaruhi mereka karena kebekuan itu hanya terjadi di bagian paling utara bumi sehingga iklim di daerah tropik-subtropik justru menjadi sangat nyaman. Adanya api membuat banyak masyarakat manusia betah berada di padang rumput Afrasia ini.
Maka, ketika para ilmuwan barat berspekulasi tentang keberadaan benua Atlantis yang hilang, mereka mengasumsikan bahwa lokasinya terdapat di belahan bumi Barat, di sekitar laut Atlantik, atau paling jauh di sekitar Timur Tengah sekarang.
Penelitian untuk menemukan sisa Atlantis pun banyak dilakukan di kawasan-kawasan tersebut.
Namun di akhir dasawarsa 1990, kontroversi tentang letak Atlantis yang hilang mulai muncul berkaitan dengan pendapat dua orang peneliti, yaitu:
Oppenheimer (1999) dan Santos (2005).
KONTROVERSI DAN REKONTRUKSI OPPENHEIMER
Kontroversi tentang sumber peradaban dunia muncul sejak diterbitkannya buku Eden The East (1999) oleh Oppenheimer, Dokter ahli genetik yang banyak mempelajari sejarah peradaban. Ia berpendapat bahwa Paparan Sunda (Sundaland) adalah merupakan cikal bakal peradaban kuno atau dalam bahasa agama sebagai Taman Eden.
Istilah ini diserap dari kata dalam bahasa Ibrani Gan Eden. Dalam bahasa Indonesia disebut Firdaus yang diserap dari kata Persia "Pairidaeza" yang arti sebenarnya adalah Taman.
Menurut Oppenheimer, munculnya peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Cina justru dipicu oleh kedatangan para migran dari Asia Tenggara.
Landasan argumennya adalah etnografi, arkeologi, osenografi, mitologi, analisa DNA, dan linguistik. Ia mengemukakan bahwa di wilayah Sundaland sudah ada peradaban yang menjadi leluhur peradaban Timur Tengah 6.000 tahun silam.
Suatu ketika datang banjir besar yang menyebabkan penduduk Sundaland berimigrasi ke barat yaitu ke Asia, Jepang, serta Pasifik. Mereka adalah leluhur Austronesia.
Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari saat berakhirnya puncak Jaman Es (Last
Glacial Maximum) sekitar 20.000 tahun yang lalu. Ketika itu, muka air laut masih sekitar 150 m di bawah muka air laut sekarang.
Kepulauan Indonesia bagian barat masih bergabung dengan benua Asia menjadi dataran luas yang dikenal sebagai Sundaland.
Namun, ketika bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan mengakibatkan banjir besar yang melanda dataran rendah di berbagai penjuru dunia.
Data geologi dan oseanografi mencatat setidaknya ada tiga banjir besar yang terjadi yaitu pada sekitar 14.000, 11.000, dan 8,000 tahun yang lalu.
Banjir besar yang terakhir bahkan menaikkan muka air laut hingga 5-10 meter lebih tinggi dari yang sekarang. Wilayah yang paling parah dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan pantai Cina Selatan.
Sundaland malah menjadi pulau-pulau yang terpisah, antara lain Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatera.
Padahal, waktu itu kawasan ini sudah cukup padat dihuni manusia prasejarah yang berpenghidupan sebagai petani dan nelayan.
Bagi Oppenheimer, kisah ‘Banjir Nuh’ atau ‘Benua Atlantis yang hilang’ tidak lain adalah rekaman budaya yang mengabadikan fenomena alam dahsyat ini.
Di kawasan Asia Tenggara, kisah atau legenda seperti ini juga masih tersebar luas diantara masyarakat tradisional, namun belum ada yang meneliti keterkaitan legenda dengan fenomena Taman Eden.
Sumber:BENARKAH SUNDALAND ITU ATLANTIS YANG HILANG?
(Pandangan dari Sisi Geologi dan Peluang dari Spekulasi Ilmiah)
Oleh : Oki Oktariadi* (oki@plg.esdm.go.id)
Gambar:armanyulianta.wordpress.com
Yang menarik kenapa kepulauan barat Indonesia ini dinamakan sundaland. Kalo sejarahnya yang menamakan itu Ptolemaeus, dari Yunani kuno. Sedangkan sunda itu sebenarnya kan kerajaan sunda. Apa mungkin zaman dulu orang Yunani datang ke Nusantara dan mampir ke kerajaan sunda ya.
BalasHapusiya..menarik, menjadi spekulasi ilmiah yang semakin menarik ^_^
HapusTerimakasih atas infonya pak, sukses selalu dan bermanfaat sekali.
BalasHapus