UJIAN Nasional (UN) atau akan dijuluki apapun namanya, pada intinya bertujuan mengukur tingkat efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran, sekaligus mendapatkan gambaran kasar mutu penyelenggaraan pendidikan skala nasional.
Namun, kita barangkali lupa atau bahkan tidak sadar, sistem pengukuran keberhasilan melalui UN menyimpang dari prinsip dan evaluasi pendidikan yang seharusnya.
Ini karena UN hanya berfokus pada hasil, bukan proses yang terpadu dan menyeluruh. Parahnya lagi, UN hanya mengukur kecakapan ranah kognitif. Padahal, dalam konsep dan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang benar, kegiatan pembelajaran harus menerapkan ranah holistik. Ini meliputi tiga ranah K-A-P (kognitif-afektif-psikomotor).
Penjelasannya adalah; pertama, ranah kognitif untuk pengembangan daya pikir dan kecakapan intelektual.
Sering diukur dalam enam gradasi dengan menggunakan skala pada Taksonomi Bloom (Bloom’s Taxonomy of the Cognitive Domains).
Dalam skala ini, terdiri dari tingkat pengetahuan (K-1), pemahaman (K-2), penerapan (K-3), analisis (K-4), sintesis (K-5), dan evaluasi (K-6).
Kedua, ranah afektif; untuk pengembangan sikap dan perilaku dalam konteks pembentukan karakter dan kepribadian.
Lazimnya diukur dalam lima gradasi dengan menggunakan skala Taksonomi Krathwohl (Krathwohl’s Taxonomy of Educational Objectives).
Ini meliputi penerimaan (A-1), tanggapan (A-2), penilaian (A-3), pengorganisasian (A-4), dan karakterisasi (A-5).
Lalu ketiga, ranah psikomotor untuk mengembangkan potensi dan pemanfaatan unsur neuromuskuler atau fungsi kinestetik tubuh.
Di sini dilibatkan kerja syaraf dan otot untuk penguasaan keterampilan dan keahlian khusus. Umumnya, diukur dalam lima gradasi menggunakan skala pada Taksonomi KD Moore ( KD Moore’s Taxonomy of Psychomotor Domains). Ini meliputi peniruan/imitasi (P-1), manipulasi (P-2), ketepatan/presisi (P-3), artikulasi (P-4), dan naturalisasi (P-5).
Di sisi lain, proses pengolahan atau penetapan nilai dan penentuan kelulusan peserta didik pada sistem UN, guru dikebiri sehingga kehilangan kebebasan dan haknya secara otonom. Hak kebebasan menentukan penilaian proses dan pencapaian hasil belajar (PHB) serta kewenangan menetapkan peserta didiknya layak lulus atau tidak.
Sesungguhnya dalam prinsip dan sistem pendidikan yang benar, guru memiliki kebebasan memberikan penilaian dan penetapan kelulusan peserta didik. Bahkan hal itu dijamin di dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen. Pasal 14, ayat (1) butir (f) berbunyi, “Dalam menjalankan tugas keprofesionalan, guru berhak memiliki kebebasan memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.”
Jika demikian, sebenarnya dapat dikatakan evaluasi pendidikan berdasarkan sistem UN menyalahi konsep dan prinsip dasar sistem penilaian. Padahal ini seharusnya menjadi hak, kebebasan, dan kewenangan guru yang tak dapat dilepas-pisahkan dari kesatuan proses pembelajaran. Inilah yang berujung pada penilaian hasil belajar peserta didik. Namun, hak, kebebasan,dan kewenangan tersebut telah dirampas oleh UN, dan tidak lagi penilaian yang bersifat autentik.
Jika saya boleh berkata jujur tentang penyelenggaraan ujian nasional, saya flash back ke seputar tahun pelajaran 1984-1985 ketika Sistem Pendidikan Nasional masih memberlakukan Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional).
Ini adalah sistem ujian nasional dengan menggunakan formula P+Q+2R dibagi 4; di mana P = Nilai Rapor Kelas III Semester V, Q = Nilai Tugas/Ko-Kurikuler, dan R = Nilai Ebtanas.
Saat itu, terjadi manipulasi dengan tutup mata pada proses pengolahan nilai, baik di sekolah negeri maupun swasta secara besar-besaran. Bahkan bisa diduga secara nasional, mana tingkat kelulusan dapat dinegosiasikan kepada Tim Khusus dan Pengawas Sekolah serta Pejabat Depdiknas di tingkat kabupaten/kota.
Berdasarkan survei dan penelitian yang saya lakukan di lapangan di berbagai kota, walhasil hampir semua kuota kelulusan setiap sekolah dengan mudah dapat terpenuhi minimal di atas 80 persen. Itu melalui kongkalikong yang seolah-olah “resmi” alias legal-formal. Soalnya, unsur sekolah dan pejabat terkait yang berwenang jug terlibat. Saya yakin, pencapaian mutu sebenarnya tidak sampai setinggi itu. Artinya, di samping sistem yang tidak bagus, dalam pelaksanaannya pun masih menyimpang. Sungguh memprihatinkan!
Kembali ke praktik sistem evaluasi pendidikan model UN saat ini, saya rasa dampak dan fungsinya tidak jauh berbeda dengan sistem Ebtanas masa lalu. Praktik pada pengolahan hasil nilai akhir pun sampai sekarang masih sering dimanipulasi, meskipun tidak diakui terang-terangan. Sebab, kenyataannya selalu terjadi manipulasi dengan istilah “bermain cantik.”
Apalagi formula mulai 2011 ini ditetapkan; 40 persen dihitung dari rata-rata nilai rapor semester 3, 4, dan 5; ditambah 60 persen nilai UN lalu dibagi 2. Peluang manipulasi tetap sangat besar. Apakah kejadian semacam ini dibiarkan terus berulang-ulang dari tahun ke tahun dengan konsekuensi kita melakukan pembodohan publik dan sekaligus pembodohan anak bangsa?
Kita kembalikan kepada beningnya hati nurani dan jernihnya pikiran untuk mempertimbangkan dan memikirkan nasib mutu pendidikan nasional ke depan. Bukan sekedar laporan hasil penilaian hitam di atas putih yang terpapar di atas kertas yang tidak dapat digunakan mencerminkan hasil murni proses pendidikan yang sebenar-benarnya.
Jadi, jika disimpulkan, praktik sistem evaluasi pendidikan baik model Ebtanas maupun UN yang sudah dilaksanakan berpuluh-puluh tahun di negeri ini, pada hakekatnya menyimpang dan tidak sesuai kaidah sistem evaluasi pendidikan yang seharusnya.
Masalahnya sekarang, apakah UN dihapuskan atau ditata ulang? Jika dihapuskan, sistem apa yang dipakai sebagai penggantinya?
Jika ingin ditata ulang, apa yang harus ditata dan bagaimana caranya?
Saya usulkan, sebaiknya UN dihapuskan dan digantikan sistem penilaian autentik berbasis proses pada setiap jenjang pendidikan.
Ini memperhatikan ranah pembelajaran secara holistik yang melibatkan penilaian terpadu pada unsur kognitif, afektik dan psikomotor secara seimbang. Sistem ini juga sejalan dengan penerapan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
yang rohnya secara teoretik mengacu pada pengembangan kurikulum berbasis standar yang dijiwai dan dilandasi kurikulum
berbasis kompetensi.
Jika ditata ulang, saya khawatir jangan-jangan sistem akhirnya sama saja dan cuma ganti nama. Istilah Ebtanas ataupun UN;rohnya tetap sama yaitu penilaian berbasis hasil, bukan proses. Jika, sistem penilaian berbasis proses, otomatis
penilaiannya autentik, tidak mungkin ada manipulasi, serta menggambarkan hasil sesungguhnya. Asumsinya, jika prosesnya baik
dan sempurna, maka hasilnya baik dan sempurna pula. (*)
Sumber :http://www.kaltimpost.co.id/ ; penulis:Drs. Bambang Sri Wahyono, M.Pd
Penulis adalah peneliti, akademisi, praktisi dan pemerhati masalah pendidikan, konsultan pendidikan dan pengembangan SDM,sekarang menjabat sebagai Ketua/Rektor STMIK-STIKOM Balikpapan.
Namun, kita barangkali lupa atau bahkan tidak sadar, sistem pengukuran keberhasilan melalui UN menyimpang dari prinsip dan evaluasi pendidikan yang seharusnya.
Ini karena UN hanya berfokus pada hasil, bukan proses yang terpadu dan menyeluruh. Parahnya lagi, UN hanya mengukur kecakapan ranah kognitif. Padahal, dalam konsep dan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang benar, kegiatan pembelajaran harus menerapkan ranah holistik. Ini meliputi tiga ranah K-A-P (kognitif-afektif-psikomotor).
Penjelasannya adalah; pertama, ranah kognitif untuk pengembangan daya pikir dan kecakapan intelektual.
Sering diukur dalam enam gradasi dengan menggunakan skala pada Taksonomi Bloom (Bloom’s Taxonomy of the Cognitive Domains).
Dalam skala ini, terdiri dari tingkat pengetahuan (K-1), pemahaman (K-2), penerapan (K-3), analisis (K-4), sintesis (K-5), dan evaluasi (K-6).
Kedua, ranah afektif; untuk pengembangan sikap dan perilaku dalam konteks pembentukan karakter dan kepribadian.
Lazimnya diukur dalam lima gradasi dengan menggunakan skala Taksonomi Krathwohl (Krathwohl’s Taxonomy of Educational Objectives).
Ini meliputi penerimaan (A-1), tanggapan (A-2), penilaian (A-3), pengorganisasian (A-4), dan karakterisasi (A-5).
Lalu ketiga, ranah psikomotor untuk mengembangkan potensi dan pemanfaatan unsur neuromuskuler atau fungsi kinestetik tubuh.
Di sini dilibatkan kerja syaraf dan otot untuk penguasaan keterampilan dan keahlian khusus. Umumnya, diukur dalam lima gradasi menggunakan skala pada Taksonomi KD Moore ( KD Moore’s Taxonomy of Psychomotor Domains). Ini meliputi peniruan/imitasi (P-1), manipulasi (P-2), ketepatan/presisi (P-3), artikulasi (P-4), dan naturalisasi (P-5).
Di sisi lain, proses pengolahan atau penetapan nilai dan penentuan kelulusan peserta didik pada sistem UN, guru dikebiri sehingga kehilangan kebebasan dan haknya secara otonom. Hak kebebasan menentukan penilaian proses dan pencapaian hasil belajar (PHB) serta kewenangan menetapkan peserta didiknya layak lulus atau tidak.
Sesungguhnya dalam prinsip dan sistem pendidikan yang benar, guru memiliki kebebasan memberikan penilaian dan penetapan kelulusan peserta didik. Bahkan hal itu dijamin di dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen. Pasal 14, ayat (1) butir (f) berbunyi, “Dalam menjalankan tugas keprofesionalan, guru berhak memiliki kebebasan memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.”
Jika demikian, sebenarnya dapat dikatakan evaluasi pendidikan berdasarkan sistem UN menyalahi konsep dan prinsip dasar sistem penilaian. Padahal ini seharusnya menjadi hak, kebebasan, dan kewenangan guru yang tak dapat dilepas-pisahkan dari kesatuan proses pembelajaran. Inilah yang berujung pada penilaian hasil belajar peserta didik. Namun, hak, kebebasan,dan kewenangan tersebut telah dirampas oleh UN, dan tidak lagi penilaian yang bersifat autentik.
Jika saya boleh berkata jujur tentang penyelenggaraan ujian nasional, saya flash back ke seputar tahun pelajaran 1984-1985 ketika Sistem Pendidikan Nasional masih memberlakukan Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional).
Ini adalah sistem ujian nasional dengan menggunakan formula P+Q+2R dibagi 4; di mana P = Nilai Rapor Kelas III Semester V, Q = Nilai Tugas/Ko-Kurikuler, dan R = Nilai Ebtanas.
Saat itu, terjadi manipulasi dengan tutup mata pada proses pengolahan nilai, baik di sekolah negeri maupun swasta secara besar-besaran. Bahkan bisa diduga secara nasional, mana tingkat kelulusan dapat dinegosiasikan kepada Tim Khusus dan Pengawas Sekolah serta Pejabat Depdiknas di tingkat kabupaten/kota.
Berdasarkan survei dan penelitian yang saya lakukan di lapangan di berbagai kota, walhasil hampir semua kuota kelulusan setiap sekolah dengan mudah dapat terpenuhi minimal di atas 80 persen. Itu melalui kongkalikong yang seolah-olah “resmi” alias legal-formal. Soalnya, unsur sekolah dan pejabat terkait yang berwenang jug terlibat. Saya yakin, pencapaian mutu sebenarnya tidak sampai setinggi itu. Artinya, di samping sistem yang tidak bagus, dalam pelaksanaannya pun masih menyimpang. Sungguh memprihatinkan!
Kembali ke praktik sistem evaluasi pendidikan model UN saat ini, saya rasa dampak dan fungsinya tidak jauh berbeda dengan sistem Ebtanas masa lalu. Praktik pada pengolahan hasil nilai akhir pun sampai sekarang masih sering dimanipulasi, meskipun tidak diakui terang-terangan. Sebab, kenyataannya selalu terjadi manipulasi dengan istilah “bermain cantik.”
Apalagi formula mulai 2011 ini ditetapkan; 40 persen dihitung dari rata-rata nilai rapor semester 3, 4, dan 5; ditambah 60 persen nilai UN lalu dibagi 2. Peluang manipulasi tetap sangat besar. Apakah kejadian semacam ini dibiarkan terus berulang-ulang dari tahun ke tahun dengan konsekuensi kita melakukan pembodohan publik dan sekaligus pembodohan anak bangsa?
Kita kembalikan kepada beningnya hati nurani dan jernihnya pikiran untuk mempertimbangkan dan memikirkan nasib mutu pendidikan nasional ke depan. Bukan sekedar laporan hasil penilaian hitam di atas putih yang terpapar di atas kertas yang tidak dapat digunakan mencerminkan hasil murni proses pendidikan yang sebenar-benarnya.
Jadi, jika disimpulkan, praktik sistem evaluasi pendidikan baik model Ebtanas maupun UN yang sudah dilaksanakan berpuluh-puluh tahun di negeri ini, pada hakekatnya menyimpang dan tidak sesuai kaidah sistem evaluasi pendidikan yang seharusnya.
Masalahnya sekarang, apakah UN dihapuskan atau ditata ulang? Jika dihapuskan, sistem apa yang dipakai sebagai penggantinya?
Jika ingin ditata ulang, apa yang harus ditata dan bagaimana caranya?
Saya usulkan, sebaiknya UN dihapuskan dan digantikan sistem penilaian autentik berbasis proses pada setiap jenjang pendidikan.
Ini memperhatikan ranah pembelajaran secara holistik yang melibatkan penilaian terpadu pada unsur kognitif, afektik dan psikomotor secara seimbang. Sistem ini juga sejalan dengan penerapan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
yang rohnya secara teoretik mengacu pada pengembangan kurikulum berbasis standar yang dijiwai dan dilandasi kurikulum
berbasis kompetensi.
Jika ditata ulang, saya khawatir jangan-jangan sistem akhirnya sama saja dan cuma ganti nama. Istilah Ebtanas ataupun UN;rohnya tetap sama yaitu penilaian berbasis hasil, bukan proses. Jika, sistem penilaian berbasis proses, otomatis
penilaiannya autentik, tidak mungkin ada manipulasi, serta menggambarkan hasil sesungguhnya. Asumsinya, jika prosesnya baik
dan sempurna, maka hasilnya baik dan sempurna pula. (*)
Sumber :http://www.kaltimpost.co.id/ ; penulis:Drs. Bambang Sri Wahyono, M.Pd
Penulis adalah peneliti, akademisi, praktisi dan pemerhati masalah pendidikan, konsultan pendidikan dan pengembangan SDM,sekarang menjabat sebagai Ketua/Rektor STMIK-STIKOM Balikpapan.
lebih baik di tata ulang saja kalau menurut saya
BalasHapusyang pasti >>> harus tata ulang !!!! :)
BalasHapusmending tata ulang sob .. klo di hapus nantinya gimana temen" yg mw lulusan itu ?? klo bisa sih kita niru pembelajaran dr luar negeri yg mata pelajarannya kita sendiri yg pilih sesuai keinginan .. klo di indonesiakan kita di paksa !!! cuma review sih ^^
BalasHapus