Pagi agak berkabut, ada pria berbadan tirus yang selalu tersenyum, rona di wajah selalu membayang kecerahan, seperti sinar pagi berpindah kewajahnya.
Dia tidak banyak ber-materi, berangkat kerja selalu mengayuh kaki, lewat undak tangga tanah dan setapak jalan tanah liat yang kalau hujan membuat sepatu kehilangan warna asli.
Rumah kontrakannya, berdinding papan yang sudah merayap disana-sini, jika jari telunjuk ditekan mungkin merapuh dan berlubang.
Jarak rumah dan tempat pria itu bekerja, "Tidak terlalu jauh, cuma lima kilo"...katanya ketika ditanya.
Berjalan dari jam setengah enam pagi, jadi kebiasaan. Tiba di sekolah sekitar tujuh kurang.
"Ah, itu kalau jalan santai, yah ada saja ketemu orang dijalan yang mengajak bicara," tersenyum dia.
"Kalau berjalan cepat, paling enam lewat atau setengah tujuh kurang sudah sampai," tambahnya.
"Bapak ada sepeda?" bertanya.
"Ada tapi kadang agak repot dengan jalan menanjak dilembah tadi, ada beberapa tempat yang mesti mengangkat sepeda. Apalagi habis hujan, wah, lebih cepat jalan kaki," jelasnya.
"Mmm, maaf bapak,"...agak hati hati,"Muka bapak kok begitu,".....
Bapak itu tersenyum,"Muka saya,...kenapa?" dia menoleh..
"Selalu tersenyum," sedikit bergumam..
"Oh...hahahahahaha," dia tertawa.
"Ya,beginilah muka saya, semua ditaruh bukan didalam hati, tapi cuma dikulit, sedang intinya dikembalikan kepada sang Khalik, saya selalu membagi kepadaNya. Jadi seakan ...alhamdulillah tidak ada masalah,..beban." Dia tersenyum.
"Maksudnya?" bingung dengan penjelasan si bapak.
"Orang hidup semua ada masalah sedih dan susah, tapi semua itukan cuma hiasan dunia, sejatinya adalah Tuhanlah yang punya kemauan, manusia jangan menganggap ini semua peranan diri, terlalu berat!...jadi selalu berbagi atau menyerahkan semua kepada pencipta,"...
"Itu sulit pak," mengeluh.
Dia tertawa lagi,"Sudah ya mas, ngobrolnya dilanjutkan nanti, assalamu alaikum....." Bapak itu melanjutkan jalannya, baju putih, celana coklat, menenteng tas kulit.
"Wa'alaikum salam, iya pak," memandangi si bapak yang sudah berjalan.
(Pria berwajah senyum itu, seorang guru)
Improvisasi dari kenangan bersama Jhon Takelangi, Endang Hariwahyudi dan saya di Sanga-Sanga 1993-1994, kompleks 10/10.
Gambar: http://www.google.co.id/imghp?hl=en&tab=wi
Dia tidak banyak ber-materi, berangkat kerja selalu mengayuh kaki, lewat undak tangga tanah dan setapak jalan tanah liat yang kalau hujan membuat sepatu kehilangan warna asli.
Rumah kontrakannya, berdinding papan yang sudah merayap disana-sini, jika jari telunjuk ditekan mungkin merapuh dan berlubang.
Jarak rumah dan tempat pria itu bekerja, "Tidak terlalu jauh, cuma lima kilo"...katanya ketika ditanya.
Berjalan dari jam setengah enam pagi, jadi kebiasaan. Tiba di sekolah sekitar tujuh kurang.
"Ah, itu kalau jalan santai, yah ada saja ketemu orang dijalan yang mengajak bicara," tersenyum dia.
"Kalau berjalan cepat, paling enam lewat atau setengah tujuh kurang sudah sampai," tambahnya.
"Bapak ada sepeda?" bertanya.
"Ada tapi kadang agak repot dengan jalan menanjak dilembah tadi, ada beberapa tempat yang mesti mengangkat sepeda. Apalagi habis hujan, wah, lebih cepat jalan kaki," jelasnya.
"Mmm, maaf bapak,"...agak hati hati,"Muka bapak kok begitu,".....
Bapak itu tersenyum,"Muka saya,...kenapa?" dia menoleh..
"Selalu tersenyum," sedikit bergumam..
"Oh...hahahahahaha," dia tertawa.
"Ya,beginilah muka saya, semua ditaruh bukan didalam hati, tapi cuma dikulit, sedang intinya dikembalikan kepada sang Khalik, saya selalu membagi kepadaNya. Jadi seakan ...alhamdulillah tidak ada masalah,..beban." Dia tersenyum.
"Maksudnya?" bingung dengan penjelasan si bapak.
"Orang hidup semua ada masalah sedih dan susah, tapi semua itukan cuma hiasan dunia, sejatinya adalah Tuhanlah yang punya kemauan, manusia jangan menganggap ini semua peranan diri, terlalu berat!...jadi selalu berbagi atau menyerahkan semua kepada pencipta,"...
"Itu sulit pak," mengeluh.
Dia tertawa lagi,"Sudah ya mas, ngobrolnya dilanjutkan nanti, assalamu alaikum....." Bapak itu melanjutkan jalannya, baju putih, celana coklat, menenteng tas kulit.
"Wa'alaikum salam, iya pak," memandangi si bapak yang sudah berjalan.
(Pria berwajah senyum itu, seorang guru)
Improvisasi dari kenangan bersama Jhon Takelangi, Endang Hariwahyudi dan saya di Sanga-Sanga 1993-1994, kompleks 10/10.
Gambar: http://www.google.co.id/imghp?hl=en&tab=wi
enak kan kalau lihat orang bermuka tersenyum
BalasHapusMenyemangati diri sendiri dengan senyum
BalasHapushati-hati kalau suka snyum-senyum sendiri, nanti orang salah sangka :D
BalasHapus