Cari Artikel di blog Media Belajar Siswa

Loading
Untuk mencari artikel cukup ketikan kata kunci dan klik tombol CARI dengan mouse -Jangan tekan ENTER.

Al-Fatihah, ayat 7

shiraathaalladziina an'amta 'alayhim ghayrilmaghdhuubi 'alayhim walaaldhdhaalliina
Al-Fatihah, ayat 7
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat.

Dalam hadis yang lalu disebutkan apabila seseorang hamba mengucapkan. "Tunjukilah kami ke jalan yang lurus ...." sampai akhir surat. maka Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
Ini untuk Hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta

Firman Allah Subhanahu wa ta'ala yang mengatakan:
Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat
kepada mereka. (Al-Fatihah: 7)

berkedudukan menafsirkan makna siratal mustaqim. Menurut kalangan ahli nahwu menjadi badal, dan boleh dianggap sebagai 'ataf bayan.
Orang-orang yang memperoleh anugerah nikmat dari Allah Subhanahu wa ta'ala adalah mereka yang disebutkan di dalam surat An-Nisa melalui firman-Nya:
Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.
(An-Nisa: 69-70)

Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna firman Allah Subhanahu wa ta'ala, "(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka" (Al-Fatihah: 7)
ialah orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka berupa ketaatan kepada-Mu dan beribadah kepada-Mu; mereka adalah para malaikat-Mu, para na-bi-Mu, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, hingga akhir ayat.
(An-Nisa: 69)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan makna firman-Nya, "(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka" (Al-Fatihah: 7).
Makna yang dimaksud adalah "para nabi". Ibnu Juraij meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, bahwa yang dimaksud dengan "mereka" adalah orang-orang beriman; hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid.
Sedangkan menurut Waki', mereka adalah orang-orang muslim. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, mereka adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. dan orang-orang yang mengikutinya.
Tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas tadi mempunyai pengertian yang lebih mencakup dan lebih luas.
Firman Allah Subhanahu wa ta'ala:
bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Al-Fatihah: 7)

Menurut jumhur ulama, lafaz gairi dibaca jar berkedudukan sebagai na'at (sifat). Az-Zamakhsyari mengatakan, dibaca gaira secara nasab karena dianggap sebagai hal (keterangan keadaan), hal ini merupakan bacaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Khalifah Umar ibnu Khattab radhiyallahu anhu. Qiraah ini diriwayatkan oleh Ibnu Kasir. Sedangkan yang berkedudukan sebagai zul hal ialah damir yang ada pada lafaz 'alaihim, dan menjadi 'amil ialah lafaz an'amta.

Makna ayat "tunjukilah kami kepada jalan yang lurus" yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau berikan anugerah nikmat kepada mereka yang telah disebutkan sifat dan ciri khasnya. Mereka adalah ahli hidayah. isuqamah, dan taat kepada Allah serta Rasul-Nya, dengan cara mengerjakan semua yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya .
Bukan jalan orang-orang yang dimurkai, Mereka adalah orang-orang yang telah rusak kehendaknya; mereka mengetahui perkara yang hak, tetapi menyimpang darinya.
Bukan pula jalan orang yang sesat. mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki (ilmu agama). akhirnya mereka bergelimang dalam kesesatan, tanpa mendapatkan hidayah kepada jalan yang hak (benar).
Pembicaraan dalam ayat ini dikuatkan dengan huruf la untuk menunjukkan bahwa ada dua jalan yang kedua-duanya rusak, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi dan oleh orang-orang Nasrani.

Sebagian dari kalangan ulama nahwu ada yang menduga bahwa kata gairi dalam ayat ini bermakna istisna (pengecualian).
Berdasar-kan takwil ini berarti istisna bersifat munqati', mengingat mereka dikecualikan dari orang-orang yang beroleh nikmat, dan mereka bukan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beroleh nikmat. Akan tetapi, apa yang telah kami ketengahkan di atas adalah pendapat yang lebih baik karena berdasarkan kepada perkataan seorang penyair, yaitu:
Seakan-akan engkau merupakan salah satu dari unta Bani Aqyasy yang mengeluarkan suara dari kedua kakinya di saat melakukan penyerangan.
Makna yang dimaksud ialah "seakan-akan kamu mirip dengan salah seekor unta dari ternak unta milik Bani Aqyasy". Dalam kalimat ini mausuf dibuang karena cukup dimengerti dengan menyebutkan sifat-nya.
Demikian pula dalam kalimat gairil magdubi 'alaihim, makna yang dimaksud ialah gairi siratil magdubi 'alaihim (bukan pula jalan orang-orang yang dimurkai).
Dalam kalimat ini cukup hanya dengan menyebut mudaf ilaih-nya saja, tanpa mudaf'lagi; pengertian ini telah ditunjukkan melalui konteks kalimat sebelumnya, yaitu firman-Nya:
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.
(Al-Fatihah:6-7)
Kemudian Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
bukan (jalan) mereka yang dimurkai. (Al-Fatihah: 7)

Di antara mereka ada yang menduga bahwa huruf la dalam firman-Nya, "Walad dallina," adalah la zaidah (tambahan). Bentuk kalam selengkapnya menurut hipotesis mereka adalah seperti berikut:
"Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan orang-orang yang sesat."
Mereka mengatakan demikian berdalilkan perkataan Al-Ajjaj (salah seorang penyair), yaitu:
Dalam sebuah telaga —bukan telaga yang kering— dia berjalan, sedangkan dia tidak merasakannya.

Makna yang dimaksud ialah biri haurin. Akan tetapi, makna yang sahih adalah seperti yang telah kami sebutkan di atas. Karena itu, Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam di dalam kitab Fadailil Qur'an meriwayatkan sebuah asar Abu Mu'awiyah, dari A'masy dari Ibra-him, dari Al-Aswad, dari Umar ibnul Khattab radhiyallahu anhu Disebutkan bahwa Umar radhiyallahu anhu pernah membaca gairil magdubi 'alaihim wa gairid dal-lina.
Sanad asar ini berpredikat sahih. Demikian pula telah diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa dia membacanya demikian, tetapi dapat diinterpretasikan bahwa bacaan tersebut dilakukan oleh keduanya (Umar dan Ubay) dengan maksud menafsirkannya.
Dengan demikian, bacaan ini memperkuat apa yang telah kami katakan. yaitu bahwa sesungguhnya huruf la didatangkan hanya untuk menguatkan makna nafi agar tidak ada dugaan yang menyangka bahwa lafaz ini di-ataf-kan kepada allazina an'amta 'alaihim; juga untuk membedakan kedua jalan tersebut dengan maksud agar masing terpisah jauh dari yang lainnya. karena sesungguhnya jalan yang
ditempuh oleh ahli iman mengandung ilmu yang hak dan pengamalannya.
Sedangkan orang-orang Yahudi telah kehilangan pengamalannya, dan orang-orang Nasrani telah kehilangan ilmunya.
Karena itu dikatakan murka menimpa orang-orang Yahudi dan kesesatan menimpa orang-orang Nasrani. Orang yang mengetahui suatu ilmu lalu ia meninggalkannya, yakni tidak mengamalkannya, berarti ia berhak mendapat murka; lain halnya dengan orang yang tidak
mempunyai ilmu.
Orang-orang Nasrani di saat mereka mengarah ke suatu tujuan. tetapi mereka tidak mendapat petunjuk menuju ke jalannya, mengingat mereka mendatangi sesuatu bukan dari pintunya, yakni tidak mengikuti perkara yang hak, akhirnya sesatlah mereka.
Orang-orang Yahudi dan Nasrani sesat lagi dimurkai. Hanya, yang dikhususkan mendapat murka adalah orang-orang Yahudi, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman Allah Subhanahu wa ta'ala:
yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah.
(Al-Maidah: 60)

Yang dikhususkan mendapat predikat sesat adalah orang-orang Nasrani, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
mereka telah sesat sebelum (kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.
(Al-Maidah: 77)
Hal yang sama disebutkan pula oleh banyak hadis dan asar. Pengertian ini tampak jelas dan gamblang dalam riwayat yang diketengahkan oleh Imam Ahmad. Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'-bah yang mengatakan bahwa dia pemah mendengar Sammak ibnu Harb menceritakan hadis berikut, bahwa dia mendengar Abbad ibnu Hubaisy menceritakannya dari Addi ibnu Hatim.
Addi ibnu Hatim mengatakan, "Pasukan berkuda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tiba, lalu mereka mengambil bibiku dan sejumlah orang dari kaumku. Ketika pasukan membawa mereka ke hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka berbaris ber-saf di hadapannya, dan berkatalah bibiku, 'Wahai Rasulullah, pemimpin kami telah jauh, dan aku tak beranak lagi, sedangkan aku adalah seorang wanita yang telah lanjut usia, tiada suatu pelayan pun yang dapat kusajikan. Maka bebaskanlah diriku, semoga Allah membalas-mu.'
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, 'Siapakah pemimpinmu?'
Bibiku menjawab, 'Addi ibnu Hatim.'
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Dia orang yang membangkang terhadap Allah dan Rasul-Nya,' lalu beliau membebaskan bibiku.
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kembali bersama seorang lelaki disampingnya, lalu lelaki itu berkata (kepada bibiku), 'Mintalah unta kendaraan kepadanya,' lalu aku meminta unta kendaraan kepadanya dan ternyata aku diberi."
Addi ibnu Hatim melanjutkan kisahnya, "Setelah itu bibiku datang kepadaku dan berkata, 'Sesungguhnya aku diperlakukan dengan suatu perlakuan yang tidak pernah dilakukan oleh ayahmu.
Sesungguhnya beliau kedatangan seseorang, lalu orang itu memperoleh dari-nya apa yang dimintanya; dan datang lagi kepadanya orang lain, ma-ka
orang itu pun memperoleh darinya apa yang dimintanya'." Addi ibnu Hatim melanjutkan kisahnya, "Maka aku datang kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam Ternyata di sisi beliau terdapat seorang wanita dan banyak anak, lalu disebutkan bahwa mereka adalah kaum kerabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka aku kini mengetahui bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah seorang raja seperti kaisar, bukan pula seperti Kisra. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku, 'Hai Addi, apakah yang mendorongmu hingga kamu membangkang tidak mau mengucapkan, Tidak ada Tuhan selain Allah'? Apakah ada Tuhan selain Allah? Apakah yang mendorongmu membangkang tidak mau mengucapkan, 'Allahu Akbar' Apakah ada sesuatu yang lebih besar daripada Allah Subhanahu wa ta'ala'?"
Addi ibnu Hatim melanjutkan kisahnya, "Maka aku masuk Islam, dan kulihat wajah beliau tampak berseri-seri, lalu beliau bersabda,
'Sesungguhnya orang-orang yang dimurkai itu adalah orang-orang Yahudi, dan sesungguhnya orang-orang yang sesat itu adalah orang-orang Nasrani'."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi melalui Hadis Sammak ibnu Harb, dan ia menilainya hasan garib. Ia mengatakan, "Kami tidak mengetahui hadis ini kecuali dari Sammak ibnu Harb."
Menurut kami, hadis ini telah diriwayatkan pula oleh Hammad ibnu Salamah melalui Sammak, dari Murri ibnu Qatri, dari Addi ibnu
Hatim yang menceritakan:
Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai firman-Nya. 'Bukan jalan orang-orang yang dimurkai," lalu beliau menjawab. 'Mereka adalah orang-orang Yahudi"; dan tentang firman-Nya. ~Dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat" beliau menjawab, "Orang-orang Nasrani adalah orang-orang yang sesat.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sufyan ibnu Uyaynah ibnu Ismail ibnu Abu Khalid, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim dengan lafaz yang sama. Hadis Addi ini diriwayatkan melalui berbagai jalur sanad dan mempunyai banyak lafaz (teks), bila dibahas cukup panjang.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Badil Al-Uqaili; telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Syaqiq, bahwa ia pemah mendapat berita dari orang yang mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika beliau berada di Wadil Qura seraya menaiki kudanya, lalu ada seorang lelaki dari kalangan Bani Qain bertanya, "Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah?" Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Mereka adalah orang-orang yang dimurkai, seraya menunjukkan isyaratnya kepada orang-orang Yahudi; dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani.
Al-Jariri, Urwah, dan Khalid meriwayatkannya pula melalui Abdullah ibnu Syaqiq, tetapi mereka me-mursal-kannya dan tidak menyebutkan orang yang mendengar dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di dalam riwayat Urwah disebut nama Abdullah ibnu Amr.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui hadis Ibrahim ibnu Tahman, dari Badil ibnu Maisarah, dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Abu Zar radhiyallahu anhu yang menceritakan:
Aku pernah berlanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang makna al-magdubi 'alaihim. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi. Aku bertanya lagi, "(Siapakah) orang-orang yang sesat?" Beliau menjawab, "Orang-orang Nasrani."

As-Saddi meriwayatkan dari Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, dan dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari segolongan orang dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Disebutkan bahwa orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi, dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani.
Dahhak dan Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi, sedangkan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam serta lainnya yang bukan hanya seorang.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, ia belum pernah mengetahui di kalangan ulama tafsir ada perselisihan pendapat mengenai makna ayat ini. Bukti yang menjadi pegangan pada imam tersebut dalam masalah "orang-orang Yahudi adalah mereka yang dimurkai, dan orang-orang Nasrani adalah orang-orang yang sesat" ialah hadis yang telah lalu dan firman Allah Subhanahu wa ta'ala yang mengisahkan tentang kaum Bani Israil dalam surat Al-Baqarah, yaitu:
Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu, mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghina-kan.
(Al-Baqarah:90)

Di dalam surat Al-Maidah Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

Katakanlah, "Apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya daripada(orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi, dan (orang yang) menyembah tagut?"
Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.
(Al-Maidah: 60)

Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.
(Al-Maidah: 78-79)

Di dalam kitab Sirah (sejarah) disebutkan oleh Zaid ibnu Amr ibnu Nufail, ketika dia bersama segolongan teman-temannya berangkat menuju negeri Syam dalam rangka mencari agama yang hanif(agama Nabi Ibrahim alaihi sallam). Setelah mereka sampai di negeri Syam, orang-orang Yahudi berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu tidak akan mampu masuk agama kami sebelum kamu mengambil bagianmu dari murka Allah."
Maka Amr menjawab, "Aku justru sedang mencari jalan agar terhindar dari murka Allah." Orang-orang Nasrani berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu tidak akan mampu masuk agama kami sebelum kamu mengambil bagianmu dari murka Allah." Maka Amr ibnu Nufail menjawab, "Aku tidak mampu."
Amr ibnu Nufail tetap pada fitrahnya dan menjauhi penyembahan kepada berhala dan menjauhi agama kaum musyrik, tidak mau masuk, baik ke dalam agama Yahudi maupun agama Nasrani.
Sedangkan teman-temannya masuk agama Nasrani karena mereka menganggap agama Nasrani lebih dekat kepada agama hanif daripada agama Yahudi pada saat itu. Di antara mereka adalah Waraqah ibnu Naufal, hingga dia mendapat petunjuk dari Allah melalui Nabi-Nya, yaitu di saat Allah mengutusnya dan dia beriman kepada wahyu yang diturun-kan Allah kepada Nabi-Nya. Semoga Allah melimpahkan rida kepadanya.

Menurut pendapat yang sahih di kalangan para ulama, dimaafkan melakukan suatu kekurangan karena mengucapkan huruf antara dad dan za, mengingat makhraj keduanya berdekatan. Demikian itu karena dad makhraj-nya mulai dari bagian pinggir lidah dan daerah sekitarnya dari gigi geraham, sedangkan makhraj za dimulai dari ujung lidah dan pangkal gusi gigi seri bagian atas. Juga mengingat kedua huruf tersebut termasuk huruf majhurah, huruf rakhwah, dan huruf mutabbaqah. Karena itu, dimaafkan bila menggunakan salah satunya sebagai ganti dari yang lain bagi orang yang tidak dapat membedakan di antara keduanya.
Adapun hadis yang mengatakan:
Aku adalah orang yang paling fasih dalam mengucapkan huruf dad.
maka hadis ini tidak ada asalnya.

Surat Al-Fatihah berisikan tujuh ayat, yaitu mengandung pujian kepada Allah, mengagungkan-Nya, dan menyanjung-Nya dengan menyebut asma-asmaNya yang terbaik sesuai dengan sifat-sifat-Nya Yang Mahatinggi. Disebutkan pula hari kembali —yaitu hari
pembalasan— dan mengandung petunjuk-Nya buat hamba-hamba-Nya agar mereka memohon dan ber-tadarru'(merendahkan diri) kepada-Nya serta berlepas diri dari upaya dan kekuatan mereka.
Surat Al-Fatihah mengandung makna ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan meng-esakan-Nya dengan sifat uluhiyyah serta membersihkan-Nya dari segala bentuk persekutuan atau persamaan atau tandingan. Mengandung permohonan mereka kepada Allah Subhanahu wa ta'ala untuk diberi hidayah (petunjuk) ke jalan yang lurus —yaitu agama Islam— dan permohonan mereka agar hati mereka diteguhkan dalam agama tersebut hingga dapat mengantarkan mereka melampaui sirat (jembatan) yang sesungguhnya kelak di hari kiamat dan akhirnya akan membawa mereka ke surga yang penuh dengan kenikmatan disisi para nabi, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh.

Surat ini mengandung targib (anjuran) untuk mengerjakan amal-amal saleh agar mereka dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang saleh kelak di hari kiamat. Juga mengandung tahiir (peringatan) terhadap jalan yang batil agar mereka tidak dikumpulkan bersama orang-orang yang menempuhnya kelak di hari kiamat. Mereka yang menempuh jalan batil itu adalah orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat.
Alangkah indahnya ungkapan isnad (penyandaran) pemberian nikmat kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dalam firman-Nya:
Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai.
(Al-Fa-tihah: 7)
Dibuangnya fail dalam firman-Nya:
bukan (jalan) mereka yang dimurkai. (Al-Fatihah: 7)

sekalipun pada hakikatnya Allah sendirilah yang menjadi fa'il-nya, sebagaimana yang diungkapkan oleh ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman?
(Al-Mujadilah: 14)

Demikian pula dalam meng-wnad-kan dalal (kesesatan) kepada pelakunya, sekalipun pada hakikatnya Allah-lah yang menyesatkan
mereka melalui takdir-Nya, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman Allah Subhanahu wa ta'ala:
Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka
kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.
(Al-Kahfi: 17)

Barang siapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.
(Al-A'raf: 186)

Masih banyak ayat lainnya yang menunjukkan bahwa hanya Allah se-matalah yang memberi hidayah dan yang menyesatkan, tidak seperti yang dikatakan oleh golongan Qadariyah dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka mengatakan bahwa pelakunya adalah
hamba-hamba itu sendiri, mereka mempunyai pilihan sendiri untuk melakukannya. Golongan Qadariyah ini mengatakan demikian dengan
dalil-dalil mutasyabih dari Al-Qur'an dan tidak mau memakai nas-nas sarih (jelas) yang justru membantah pendapat mereka.
Hal seperti ini termasuk sikap dari orang-orang yang sesat dan keliru. Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih dari Al-Qur'an, mereka adalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah. Maka berhati-hatilah kalian terhadap mereka.
Yang dimaksud ialah yang dinamakan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala di dalam firman-Nya:
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih dari-nya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya.
(Ali Imran: 7)

Segala puji bagi Allah, tiada bagi orang ahli bid'ah suatu hujah pun yang sahih di dalam Al-Qur'an, karena Al-Qur'an diturunkan untuk memisahkan antara perkara yang hak dan perkara yang batil dan membedakan antara hidayah dengan kesesatan. Di dalam Al-Qur'an tidak terdapat pertentangan, tidak pula perselisihan, karena ia dari sisi Allah, yaitu diturunkan dari Tuhan Yang Mahabij'aksana lagi Maha Terpuji.

Orang yang membaca Al-Fatihah disunatkan mengucapkan lafaz amin sesudahnya yang ber-wazan semisal dengan lafaz yasin. Akan tetapi, adakalanya dibaca amin dengan bacaan yang pendek. Makna yang dimaksud ialah "kabulkanlah."

Dalil yang menunjukkan hukum sunat membaca amin ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Daud, dan Imam Turmuzi melalui Wa'il ibnu Hujr yang menceritakan:
Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca, "gairil magdubi 'alaihim walad dallin." Maka beliau membaca, "'amin," seraya memanjangkan suaranya dalam membacanya.
Menurut riwayat Imam Abu Daud, beliau mengeraskan bacaan amin-nya. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan. Hadis yang sama diriwayatkan pula melalui Ali radhiyallahu anhu dan Ibnu Mas'ud serta lain-lainnya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu disebutkan bahwa apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Membaca . ~Gairil magdubi 'alaihim walad dallin," lalu beliau membaca ~Ammiin~ hingga orang-orang yang berada di sebelah kiri dan kanannya dari saf penama mendengar suaranya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah, tetapi di dalamnya ditambahkan bahwa masjid bergetar karena suara bacaan amin.
Imam Ad-Daruqutni mengatakan, sanad hadis ini berpredikat hasan.
Dari Bilal, disebutkan bahwa dia pemah berkata, "Wahai Rasulullah, janganlah engkau mendahuluiku dengan bacaan amin(mu)" Demikianlah menurut riwayat Abu Daud.
Abu Nasr Al-Qusyairi telah menukil dari Al-Hasan dan Ja'far As-Sadiq, bahwa keduanya membaca tasydid huruf mim lafaz amin,
semisal dengan apa yang terdapat di dalam firman-Nya:
(dan jangan pula mengganggu) orang-orang yang mengunjungi Baitullah.
(Al-Maidah: 2)
Menurut teman-teman kami dan selain mereka, bacaan amin ini disunatkan pula bagi orang yang berada di luar salat, dan lebih kuat lagi kesunatannya bagi orang yang sedang salat, baik dia salat sendirian, sebagai imam, ataupun sebagai makmum, dan dalam semua keadaan; karena di dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah hadis melalui Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pernah bersabda:
Apabila imam membaca amin, maka ber-amin-lah kalian, karena sesungguhnya barang siapa yang bacaan amin-nya bersamaan dengan bacaan amin para malaikat, niscaya dia mendapat ampunan terhadap dosa-dosanya terdahulu.
Menurut riwayat Imam Muslim, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
Apabila seseorang di antara kalian mengucapkan amin dalam salatnya, maka para malaikat yang di langit membaca amin pula dan ternyata bacaan masing-masing bersamaan dengan yang lainnya, niscaya dia mendapat ampunan terhadap dosa-dosanya yang terdahulu.
Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah "barang siapa bacaan amin-nya. bersamaan waktunya dengan bacaan amin para malaikat".
Menurut pendapat lain, bersamaan dalam menjawabnya; sedangkan menurut pendapat yang lainnya lagi, dalam hal keikhlasan-nya.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui Abu Musa secara marfu "Apabila imam mengucapkan walad dallin, maka ucapkanlah
amin oleh kalian, niscaya Allah memperkenankan (doa) kalian."
Juwaibir meriwayatkan melalui Dahhak, dari Ibnu Abbas yang menceritakan:

Aku pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah makna amin itu?"
Beliau menjawab, "Wahai Tuhanku, kabulkanlah doa ka-mi.
Al-Jauhari mengatakan, memang demikianlah makna amin, maka sebaiknya dilakukan.
Sedangkan menurut Imam Turmuzi, makna amin ialah "'janganlah Engkau mengecewakan harapan kami". Tetapi menurut kebanyakan ulama, makna amin ialah "ya Allah, perkenankanlah bagi kami".

Al-Qurtubi meriwayatkan dari Mujahid dan Ja'far As-Sadiq serta Hilal ibnu Yusaf, bahwa amin merupakan salah satu dari asma-asma
Allah Subhanahu wa ta'ala. Hal ini diriwayatkan pula melalui Ibnu Abbas secara mar-fu.
Akan tetapi, menurut Abu Bakar ibnul Arabi Al-Maliki riwayat ini tidak sahih.

Murid-murid Imam Malik mengatakan bahwa imam tidak boleh membaca amiin, yang membaca amin hanyalah makmum. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam Malik melalui Sumai dari Abu Saleh dari Abu Hurairah.
Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Pernah bersabda:
Apabila imam membaca walad dallin, maka ucapkanlah amin Oleh kalian.

Mereka lebih cenderung kepada hadis Abu Musa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
Apabila imam membaca,"Walad dallin,"
maka ucapkanlah,"Amin," oleh kalian.

Dalam hadis yang muttafaq yang telah kami ketengahkan disebutkan:
Apabila imam membaca amin, maka ber-amin-lah kalian.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu mengucapkan amin bila telah membaca, "Gairil magdubi 'alaihim walad dallin."

Teman-teman kami (mazhab Syafii) berselisih pendapat mengenai bacaan keras amin bagi makmum dalam salat jahriyyah.
Dari perselisihan mereka dapat disimpulkan bahwa "apabila imam lupa membaca amin, maka makmum mengeraskan bacaan amin-nya." Ini
merupakan satu pendapat.
Bila imam membaca amin-nya dengan suara keras, menurut qaul jadid (ijtihad Imam Syafii di Mesir), makmum tidak mengeraskan bacaan amin-nya. Pendapat yang sama dikatakan pula oleh mazhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Malik. Dikatakan demikian karena amin merupakan salah satu zikir.
Untuk itu, tidak boleh dibaca keras, sama halnya dengan zikir salat yang lainnya.

Sedangkan menurut qaul qadim (ijtihad Imam Syafii di Bagdad), makmum membacanya dengan suara keras. Pendapat ini merupakan yang dianut di kalangan mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal dan riwayat lain dari Imam Malik. Dikatakan demikian karena di dalam hadisnya disebutkan, "Hingga masjid bergetar (karena bacaan amin)."
Menurut kami, ada pendapat ketiga dari kami sendiri, yaitu "apabila masjid yang dipakai berukuran kecil, maka makmum tidak
boleh mengeraskan bacaan amin-nya, karena para makmum dapat mendengar bacaan imam. Lain halnya jika masjid yang dipakai berukuran besar, maka makmum mengeraskan bacaan amin agar dapat didengar oleh seluruh makmum yang ada di dalam masjid".
Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya telah meriwayatkan melalui Siti Aisyah radhiyallahu anha, bahwa pernah dikisahkan perihal orang-orang Yahudi di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:

Sesungguhnya mereka tidak dengki terhadap kita atas sesuatu hal sebagaimana kedengkian mereka terhadap kita karena salat Jumat yang telah Allah tunjukkan kepada kita, tetapi mereka sesat darinya; dan karena kiblat yang telah Allah tunjukkan kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya, dan karena ucapan amin kita di belakang imam.

Ibnu Majah meriwayatkannya pula dengan lafaz seperti berikut:
Tiada sekali-kali orang-orang Yahudi dengki kepada kalian sebagaimana kedengkian mereka kepada kalian karena ucapan salam dan amin.
Ibnu Majah meriwayatkan pula melalui Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
Tidak sekali-kali orang-orang Yahudi dengki kepada kalian sebagaimana kedengkian mereka kepada kalian karena ucapan amin. Maka perbanyaklah bacaan amin.
Akan tetapi, di dalam sanadnya terdapat Talhah ibnu Amr, sedangkan dia berpredikat daif. Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, "Ucapan amin adalah pungkasan doa semua orang bagi hamba-hamba-Nya yang beriman." Dari Anas radhiyallahu anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
bersabda:
Aku dianugerahi amin dalam salat dan ketika melakukan doa, tiada seorang pun sebelumku (yang diberi amin) selain Musa.
Dahulu Musa berdoa, sedangkan Harun mengamininya. Maka pungkasilah doa kalian dengan bacaan amin, karena sesungguh-nya Allah pasti akan memperkenankan bagi kalian.
Menurut kami, sebagian ulama berdalilkan ayat berikut, yaitu firman-Nya:
Musa berkata, "Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia. Wahai Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Wahai Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih." Allah berfirman,
"Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui
(Yunus: 88-89)

Allah menyebutkan bahwa yang berdoa hanyalah Musa alaihi sallam sendiri, dan dari konteks kalimat terdapat pengertian yang menunjukkan bahwa Harun yang mengamini doanya. Maka kedudukan Harun ini disamakan dengan orang yang berdoa, karena berdasarkan
firman-Nya:
Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua.
(Yunus: 89)

Hal ini jelas menunjukkan bahwa orang yang mengamini suatu doa seakan-akan dia sendiri yang berdoa. Berdasarkan pengertian ini, maka berkatalah orang yang berpendapat bahwa sesungguhnya makmum tidak usah membaca surat Al-Fatihah lagi karena ucapan amin-nya atas bacaan surat tersebut sama kedudukannya dengan dia membacanya sendiri. Karena itu, dalam sebuah hadis disebutkan:
Barang siapa yang mempunyai imam, maka bacaan imamnya itu juga bacaannya.
Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya.
Bilal pernah mengatakan. "Wahai Rasulullah, janganlah engkau mendahului aku dengan ucapan amin(mu)" Berdasarkan pengertian ini dapat dikatakan bahwa tidak ada bacaan bagi makmum dalam salat jahriyah berkat ucapan amin-nya).

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Salam, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibranim, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Lais, dari Ibnu Abu Salim, dari Ka'b, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
Apabila seorang imam mengucapkan gairil magdubi 'alaihim walad dallin, lalu ia mengucapkan amin, ternyata bacaan amin penduduk bumi bersamaan dengan bacaan amin penduduk langit (para malaikat), niscaya Allah mengampuni hamba yang ber-sangkutan dari dosa-dosanya yang terdahulu.
Perumpamaan orang-orang yang tidak membaca amin (dalam salatnya) sama dengan seorang lelaki berangkat berperang bersama suatu kaum.
Kemudian mereka melakukan undian (untuk menentukan yang maju) dan ternyata bagian mereka keluar, sedangkan bagian dia tidak keluar. Kemudian dia memprotes, "Mengapa bagianku tidak keluar?" Maka dijawab, "Karena kamu tidak membaca amin."

Sumber:Tafsir Ibnu Katsir

5 komentar:

  1. nikmat apakah sebenarnya...?
    ada derajat kenikmatan kalo ga salah, ada sholeh, siddiq, syahid, nabi....

    apakah kita bisa mendapatkannya..?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dengan menanggalkan ilmu dari akal kemudian memakai rasa ikhlas tulus memakai pakaian Rasul yang dipakaikan Allah.

      bisa.

      Hapus
  2. Dari surat Al Fatihah ayat 7 saja bisa dijabarkan penjelasan sebanyak ini ya?
    Makasih banget sharingnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. aryadevi sudut kelas media belajar siswa26 Juli 2013 pukul 17.25

      sama dirasa dan sama dibagi....thanks

      Hapus
  3. wah Artikelnya perlu dibaca ni,,,,, ijin baca y gan ,,,, moga sukses

    BalasHapus

(Terima kasih sudah mau berkunjung ke Blog Arya-Devi sudut kelas media belajar siswa)
Komentar Anda sebagai masukan berharga dan juga sebagai jalinan interaksi antar pengguna internet yang sehat. Dan jika berkenan mohon dukungannya dengan meng-klik tombol G+.

Jika berkenan dengan artikel di Blog ini,Mohon dukungan dengan klik G+ di Aryadevi Sudut Kelas