Berjalan di lorong ilmu, seperti banyak melihat lampu warna warni. Merah, kuning, hijau dan sebagainya. Sekarang bagaimana kita menyikapi, sudah dan adakah bekal untuk bertindak arif?
Berjalan ke toko teman, di dinding tertempel foto Ulama, melirik warung nasi disebelahnya, sama saja, tetapi terlihat lebih banyak.
Kalau saya dirumah tidak sempat ngopi, sering mampir ke warung, dan disana pun terlihat foto kyai (Ulama) ditambah tulisan-tulisan indah ayat-ayat suci (Qur'an).
Berjalan eh tidak.. naik angkot atau pernah juga numpang mobil teman, bergantung tasbih, dipintu tertempel stiker kutipan ayat Qur'an..dan seterusnya.
Berpakaian "jubah" tampak alim, bertutup kepala tampak "suci" dan mengerjakan sholat seperti mendirikan menara dari pasir, banyak dan rajin, tapi sekedar gugur kewajiban.
Terlepas dari kenyataan bahwa hal-hal seperti itu, terdapat unsur pragmatis, namun jelas tetap mengandung kebenaran.
Agama sering dibajak (hijacked) oleh pemeluknya sendiri. Salah satu bentuk hijacking terhadap agama itu ialah jika para pemeluknya menjadi lebih mementingkan bentuk dari pada isi, simbol dari pada substansi.
Tampak persoalan ini bukan hanya muncul pada jaman sekarang, melainkan sudah menjadi masalah manusia sepanjang masa.
Mengutip dari tulisan Nurcholish Madjid, di jaman Palestina purba, Nabi Isa pernah dengan gemas menyampaikan firman Yahweh (nama Tuhan Yang Maha Esa menurut Nabi Musa sebagaimana ia dapatkan dari mertuanya, Syu'aib, seorang nabi dari negeri Madyan).
Dalam Islam pun peringatan agar orang tidak hanya mementingkan simbol dan formalitas, melainkan lebih memperhatikan isi dan substansi, dinyatakan sebagai berikut:
Kebajikan itu bukanlah kamu menghadapkan wajah-wajah ke arah timur atau barat, melainkan kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, Hari kemudian, para Malaikat, Kitab-kitab suci, dan para nabi. Dan orang itu mendermakan hartanya, betapapun cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, anak-anak yatim, kaum miskin, orang terlantar di jalan, orang meinta-minta dan orang yang terbelenggu perbudakan. Dan orang itu menegakan sholat, menunaikan zakat. Dan orang itu menepati janji jika mereka mengikat janji, tabah dalam kesulitan, kesusahan dan bencana. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan merekalah itulah orang-orang yang bertakwa.
(QS Al-Baqarah 2:177)
Berjalan ke toko teman, di dinding tertempel foto Ulama, melirik warung nasi disebelahnya, sama saja, tetapi terlihat lebih banyak.
Kalau saya dirumah tidak sempat ngopi, sering mampir ke warung, dan disana pun terlihat foto kyai (Ulama) ditambah tulisan-tulisan indah ayat-ayat suci (Qur'an).
Berjalan eh tidak.. naik angkot atau pernah juga numpang mobil teman, bergantung tasbih, dipintu tertempel stiker kutipan ayat Qur'an..dan seterusnya.
Berpakaian "jubah" tampak alim, bertutup kepala tampak "suci" dan mengerjakan sholat seperti mendirikan menara dari pasir, banyak dan rajin, tapi sekedar gugur kewajiban.
Terlepas dari kenyataan bahwa hal-hal seperti itu, terdapat unsur pragmatis, namun jelas tetap mengandung kebenaran.
Agama sering dibajak (hijacked) oleh pemeluknya sendiri. Salah satu bentuk hijacking terhadap agama itu ialah jika para pemeluknya menjadi lebih mementingkan bentuk dari pada isi, simbol dari pada substansi.
Tampak persoalan ini bukan hanya muncul pada jaman sekarang, melainkan sudah menjadi masalah manusia sepanjang masa.
Mengutip dari tulisan Nurcholish Madjid, di jaman Palestina purba, Nabi Isa pernah dengan gemas menyampaikan firman Yahweh (nama Tuhan Yang Maha Esa menurut Nabi Musa sebagaimana ia dapatkan dari mertuanya, Syu'aib, seorang nabi dari negeri Madyan).
"Kamu boleh sembahyang banyak-banyak,
Aku tak akan dengarkan!
Tanganmu berlumuran darah, cucilah dan bersihkan dirimu!
Singkirkan kejahatan itu dari pandangan-Ku!
Berhentilah berbuat keji!
Belajarlah berbuat baik!
Cari keadilan!
Bantu kaum tertindas!
Perhatikan anak-anak yatim!
Santuni janda-janda miskin!"
Dalam Islam pun peringatan agar orang tidak hanya mementingkan simbol dan formalitas, melainkan lebih memperhatikan isi dan substansi, dinyatakan sebagai berikut:
Kebajikan itu bukanlah kamu menghadapkan wajah-wajah ke arah timur atau barat, melainkan kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, Hari kemudian, para Malaikat, Kitab-kitab suci, dan para nabi. Dan orang itu mendermakan hartanya, betapapun cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, anak-anak yatim, kaum miskin, orang terlantar di jalan, orang meinta-minta dan orang yang terbelenggu perbudakan. Dan orang itu menegakan sholat, menunaikan zakat. Dan orang itu menepati janji jika mereka mengikat janji, tabah dalam kesulitan, kesusahan dan bencana. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan merekalah itulah orang-orang yang bertakwa.
(QS Al-Baqarah 2:177)
terima kasih renungan jum'atnya pak dijadikan pengingat untuk saya
BalasHapus@Lidya: iya bu, bersama,..saya juga masih belajar.....mencoba membenahi diri kemudian dituangkan dalam tulisan....yg sebagian juga kutipan.
BalasHapusmemang betul masih banyak orang berpikir dirinya islam hanya krn memasang hiasan kaligrafi di rumahnya :(
BalasHapuspadahal sebagai muslim harus dapat berbuat kebaikan kepada orang lain, terlebih yang membutuhkan pertolongan
banyak orang tau islam, tapi tidak mau mengamalkannya. Keserakahan duniawi mengalahkan ketakutan pada siksa. Makasih sobat pencerahannya :)
BalasHapusSimbol-simbol agama ataupun atribut2 yang dipakai oleh orang belum tentu mencerminkan isi hati orang tersebut.
BalasHapusJadi inget Syair Tanpo wathonnya almarhum Gus Dur. Substansi itu lebih penting dari segala bentuk baju yang menyertainya. salam:)
BalasHapusjadi iman itu memang tidak bisa dipatok dari penampilan zahir ya, Mas..
BalasHapusterimakasih kawan sudah diingatkan dengan postingan ini :)
BalasHapus