Adalah tahun 1977, seorang Paul G.Stoltz menawarkan konsep mengenai Adversity Quotient atau AQ. Kecerdasan "mengubah hambatan menjadi peluang" ini dikembangkan berdasarkan penelitian sejumlah ilmuwan dan diproses melalui lebih dari 500 kajian diseluruh dunia. Tiga cabang ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan adalah psikologi kognitif, psikoneuroimunolgi dan neurofisiologi. Dengan ilustrasi seorang pendaki gunung, Stoltz membedakan AQ seseorang dalam tiga jenis atau jenjang, yaitu :
QUITTERS.
Ini menggambarkan jenis orang yag bekerja hanya untuk hidup, sekedar memenuhi kebutuhan fisiologisnya.Mereka mudah menyerah jika mengalami sedikit kesulitan, menghindari tanggung jawab, mundur atau berhenti.
CAMPERS.
Orang yang relatif cepat puas bila telah berhasil memenuhi kebutuhan rasa amannya.Dalam pendakian gunung, orang macam ini berhenti ditengah dan membuat perkemahan.
CLIMBERS.
Seorang yang sukar terpuaskan sebelum ia mencapai tujuan tertinggi, sampai di puncak gunung. Ia selalu berusaha untuk memenuhi segala kebutuhannya sampai pada tingkat aktualisasi dirinya. Orang yang tidak mengenal menyerah, itulah Climbers.
Stoltz menggambarkan hubungan antara IQ, EQ dan AQ-nya sebagai segitiga sama sisi dan tentu saja menempatkan AQ dipuncak segitiga tersebut. AQ adalah peramal global tentang keberhasilan, demikian klaim yang diajukan Stoltz. Ia juga menawarkan sejumlah cara untuk mengukur tingkat kecerdasan adversity seseorang.
Dalam kaitannya dengan konsep Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow, Stoltz mengatakan bahwa mereka yang ber-AQ rendah atau Quitters selalu berkutat diseputar soal pemenuhan kebutuhan fisiologisnya/kebutuhan primer. Sementara orang yang ber-AQ termasuk kategori Campers mampu memenuhi kebutuhan atas rasa aman/security. Hanya para Climbers, yakni mereka yag ber-AQ tinggi yang dapat memenuhi kebutuhan aktualisasi dirinya, sehingga dapat menjalani hidup secara utuh. "Proses hidup dalam pembelajaran mengaktualisasikan diri, sehingga akan menjadi gaya hidup yang mumpuni"
QUITTERS.
Ini menggambarkan jenis orang yag bekerja hanya untuk hidup, sekedar memenuhi kebutuhan fisiologisnya.Mereka mudah menyerah jika mengalami sedikit kesulitan, menghindari tanggung jawab, mundur atau berhenti.
CAMPERS.
Orang yang relatif cepat puas bila telah berhasil memenuhi kebutuhan rasa amannya.Dalam pendakian gunung, orang macam ini berhenti ditengah dan membuat perkemahan.
CLIMBERS.
Seorang yang sukar terpuaskan sebelum ia mencapai tujuan tertinggi, sampai di puncak gunung. Ia selalu berusaha untuk memenuhi segala kebutuhannya sampai pada tingkat aktualisasi dirinya. Orang yang tidak mengenal menyerah, itulah Climbers.
Stoltz menggambarkan hubungan antara IQ, EQ dan AQ-nya sebagai segitiga sama sisi dan tentu saja menempatkan AQ dipuncak segitiga tersebut. AQ adalah peramal global tentang keberhasilan, demikian klaim yang diajukan Stoltz. Ia juga menawarkan sejumlah cara untuk mengukur tingkat kecerdasan adversity seseorang.
Dalam kaitannya dengan konsep Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow, Stoltz mengatakan bahwa mereka yang ber-AQ rendah atau Quitters selalu berkutat diseputar soal pemenuhan kebutuhan fisiologisnya/kebutuhan primer. Sementara orang yang ber-AQ termasuk kategori Campers mampu memenuhi kebutuhan atas rasa aman/security. Hanya para Climbers, yakni mereka yag ber-AQ tinggi yang dapat memenuhi kebutuhan aktualisasi dirinya, sehingga dapat menjalani hidup secara utuh. "Proses hidup dalam pembelajaran mengaktualisasikan diri, sehingga akan menjadi gaya hidup yang mumpuni"
saya penginnya campers, tapi kok malah climbers terus? tolongin dong...
BalasHapusorang yang terus berusaha, bila berhasil maka memanjatkan syukur dan jika gagal maka bersabar.
BalasHapusklo berhasil ya alhamdulillaahhh
BalasHapusWaw, bagus banget penjabarannya. Analogi yang bagus! Jadi pengen lebih tau ttg Stoltz ini :D
BalasHapusTengkyu for sharing.