Kedamaian di sekolah, sekolah sebagai sarana potensial (selain keluarga/rumah) untuk meredam berbagai pengaruh negatif dari luar, sebagai sub sistem tatanan kehidupan sosial, menempatkan lembaga tersebut sebagai bagian dari sistem sosial. Sekolah harus peka dan tanggap dengan harapan dan tuntutan masyarakat sekitarnya.
Manusia mulai sadar dan lelah dengan kehidupan yang penuh dengan kekerasan (peperangan, penjajahan, menyelesaikan masalah dengan perang) dan mulai melirik kehidupan yang damai.
Namun di berbagai tempat masih dijumpai kasus dan peristiwa yang mengedepankan perilaku kekerasan.
Masyarakat Indonesia yang plural baik dari segi etnis, agama,dan ras pada dua tahun terakhir ini di hadapkan pada suatu kondisi disintegrasi (Reformasi yang ngawur). Harmonisasi kehidupan sangat sulit ditemukan hampir dalam setiap tataran kehidupan sosial politik dan mungkin juga ekonomi. Pembakaran pencuri yang tertangkap, saling ancam antar kampung sampai pemeluk agama karena perbedaan ideologi politik, tawuran antar sekolah, perebutan aset ekonomi antar daerah, adalah sederetan kasus dimana kekerasan sudah menjadi hal yang mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mengantisipasi berulangnya kasus dan peristiwa kekerasan dalam skala yang lebih besar, diperlukan upaya prevensi, yaitu melalui pendidikan di sekolah. Pendidikan adalah upaya untuk membantu peserta didik, dalam hal ini siswa, untuk mengembangkan diri pada dimensi intelektual, moral dan psikologis mereka. Perkembangan masyarakat modern menuntut bahwa tugas sebagian tugas pendidikan dijalankan oleh institusi yang disebut sekolah.
Demi kelancaran amanat pendidikan yang diemban oleh sekolah, maka kelancaran proses yang terjadi di dalam sekolah menjadi fokus perhatian banyak kalangan yang mengkaji masalah manajemen sekolah. Salah satu isu yang dibawa adalah terciptanya situasi yang kondusif bagi siswa dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Pada titik tertentu, situasi yang kondusif ini menjangkau tema mengenai kedamaian di sekolah, karena kedamaian berkaitan dengan kenyamanan dalam belajar, jaminan akan keamanan dalam beraktifitas di sekolah, kehangatan dalam berinteraksi dengan orang lain serta kebebasan dalam berkreasi dan berkarya, yang menyebabkan terpenuhinya kebutuhan psikologis siswa di sekolah.
Sekolah adalah suatu lembaga yang mempunyai peran strategis terutama mendidik dan menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam memegang estafet generasi sebelumnya. Keberadaan sekolah sebagai sub sistem tatanan kehidupan sosial, menempatkan lembaga sekolah sebagai bagian dari sistem sosial. Sebagai bagian dari sistem dan lembaga sosial, sekolah harus peka dan tanggap dengan harapan dan tuntutan masyarakat sekitarnya.
Sekolah diharapkan menjalankan fungsinya dengan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan optimal dan mengamankan diri dari pengaruh negatif lingkungan sekitar.
Mengingat pentingnya masalah kedamaian di sekolah, pada tahun 2000 Majelis Umum PBB mengeluarkan mandat kepada UNESCO untuk menetapkan bahwa tahun 2000 sebagai tahun budaya damai internasional (International Year for the Culture of Peace) dan dekade tahun 2001 sampai 2010 sebagai dekade budaya damai dan tanpa kekerasan(International Decade for a Culture of Peace and Non-Violence for the Children of the World).
Penetapan dekade 2001 sampai 2010 sebagai dekade budaya damai anti kekerasan tersebut merupakan kelanjutan dari program berkesinambungan yang dimulai semenjak tahun 1974 mengenai Education for International Understanding,Co-operation and Peace and Education relating to Human Rights and Fundamental Freedoms yang ditetapkan di Paris, World Plan of Action on Education for Human Rights and Democracy yang ditetapkan di Montreal pada tahun 1993,
Declaration and Programme of Action of the World Conference on Human Rights yang ditetapkan di Wina pada tahun 1993, Declaration and Integrated Framework of Action on Education for Peace, Human Rights and Democracy yang ditetapkan di Paris pada tahun 1995 serta penetapan dekade the Plan of Action for the United Nations Decade for Human Rights Education yang dimulai dari 1995 sampai tahun 2005.
Semenjak ditetapkan, berbagai macam program mulai dilakukan pada berbagai negara yang memusatkan pada pendekatan holistik yang menekankan pada metode partisipatif masyarakat terutama siswa di sekolah. Dimensi-dimensi yang dikembangkan pada program tersebut antara lain kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence), hak asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy), toleransi (tolerance), pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding), serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity).
Pendidikan perdamaian menyentuh pada tiga komponen, yaitu siswa, guru dan orang tua siswa. Ketiga komponen tersebut merupakan pelaku aktif proses penanaman nilai-nilai luhur dalam pendidikan perdamaian.
Peran guru adalah sebagai pendidik nilai-nilai dan pengajar ilmu pengetahuan.
Siswa adalah generasi muda yang akan meneruskan keberlangsungan bangsa yang diharapkan berperan pada sosialisasi nilai-nilai budaya damai anti kekerasan pada rekan sebaya.
Orangtua adalah mitra guru yang mampu mendorong, mendukung dan mengembangkan aktualisasi atau pelaksanaan budaya damai tanpa kekerasan.
Mengingat pentingnya budaya damai dan anti kekerasan, maka diperlukan sebuah langkah konkrit dalam menindaklanjuti kesadaran mengenai pentingnya hal tersebut.
Sebelum menentukan langkah yang hendak diaplikasikan, diperlukan pengenalan masalah dan orientasi medan, untuk mengindentifikasi berbagai macam alternatif program yang akan dilakukan.
Pada konteks upaya menciptakan budaya damai anti kekerasan di sekolah, identifikasi masalah tersebut diarahkan pada subjek pelaku yang menjadi target program yang hendak diaplikasikan.
Sumber Belajar: M. Noor Rochman Hadjam Wahyu Widhiarso
Gambar:http://pdfcast.net
***
Kehidupan zaman bergerak semakin maju dan mencapai peradaban yang lebih tinggi. Untuk mencapai peradaban yang lebih tinggi masyarakat harus mulai meningkatkan potensi akal dan pikirannya untuk dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya dan sekaligus meninggalkan kehidupan dengan pola peradaban tingkat rendah yang memecahkan permasalahan dengan jalan kekerasan.Manusia mulai sadar dan lelah dengan kehidupan yang penuh dengan kekerasan (peperangan, penjajahan, menyelesaikan masalah dengan perang) dan mulai melirik kehidupan yang damai.
Namun di berbagai tempat masih dijumpai kasus dan peristiwa yang mengedepankan perilaku kekerasan.
Masyarakat Indonesia yang plural baik dari segi etnis, agama,dan ras pada dua tahun terakhir ini di hadapkan pada suatu kondisi disintegrasi (Reformasi yang ngawur). Harmonisasi kehidupan sangat sulit ditemukan hampir dalam setiap tataran kehidupan sosial politik dan mungkin juga ekonomi. Pembakaran pencuri yang tertangkap, saling ancam antar kampung sampai pemeluk agama karena perbedaan ideologi politik, tawuran antar sekolah, perebutan aset ekonomi antar daerah, adalah sederetan kasus dimana kekerasan sudah menjadi hal yang mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mengantisipasi berulangnya kasus dan peristiwa kekerasan dalam skala yang lebih besar, diperlukan upaya prevensi, yaitu melalui pendidikan di sekolah. Pendidikan adalah upaya untuk membantu peserta didik, dalam hal ini siswa, untuk mengembangkan diri pada dimensi intelektual, moral dan psikologis mereka. Perkembangan masyarakat modern menuntut bahwa tugas sebagian tugas pendidikan dijalankan oleh institusi yang disebut sekolah.
Demi kelancaran amanat pendidikan yang diemban oleh sekolah, maka kelancaran proses yang terjadi di dalam sekolah menjadi fokus perhatian banyak kalangan yang mengkaji masalah manajemen sekolah. Salah satu isu yang dibawa adalah terciptanya situasi yang kondusif bagi siswa dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Pada titik tertentu, situasi yang kondusif ini menjangkau tema mengenai kedamaian di sekolah, karena kedamaian berkaitan dengan kenyamanan dalam belajar, jaminan akan keamanan dalam beraktifitas di sekolah, kehangatan dalam berinteraksi dengan orang lain serta kebebasan dalam berkreasi dan berkarya, yang menyebabkan terpenuhinya kebutuhan psikologis siswa di sekolah.
Sekolah adalah suatu lembaga yang mempunyai peran strategis terutama mendidik dan menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam memegang estafet generasi sebelumnya. Keberadaan sekolah sebagai sub sistem tatanan kehidupan sosial, menempatkan lembaga sekolah sebagai bagian dari sistem sosial. Sebagai bagian dari sistem dan lembaga sosial, sekolah harus peka dan tanggap dengan harapan dan tuntutan masyarakat sekitarnya.
Sekolah diharapkan menjalankan fungsinya dengan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan optimal dan mengamankan diri dari pengaruh negatif lingkungan sekitar.
Mengingat pentingnya masalah kedamaian di sekolah, pada tahun 2000 Majelis Umum PBB mengeluarkan mandat kepada UNESCO untuk menetapkan bahwa tahun 2000 sebagai tahun budaya damai internasional (International Year for the Culture of Peace) dan dekade tahun 2001 sampai 2010 sebagai dekade budaya damai dan tanpa kekerasan(International Decade for a Culture of Peace and Non-Violence for the Children of the World).
Penetapan dekade 2001 sampai 2010 sebagai dekade budaya damai anti kekerasan tersebut merupakan kelanjutan dari program berkesinambungan yang dimulai semenjak tahun 1974 mengenai Education for International Understanding,Co-operation and Peace and Education relating to Human Rights and Fundamental Freedoms yang ditetapkan di Paris, World Plan of Action on Education for Human Rights and Democracy yang ditetapkan di Montreal pada tahun 1993,
Declaration and Programme of Action of the World Conference on Human Rights yang ditetapkan di Wina pada tahun 1993, Declaration and Integrated Framework of Action on Education for Peace, Human Rights and Democracy yang ditetapkan di Paris pada tahun 1995 serta penetapan dekade the Plan of Action for the United Nations Decade for Human Rights Education yang dimulai dari 1995 sampai tahun 2005.
Semenjak ditetapkan, berbagai macam program mulai dilakukan pada berbagai negara yang memusatkan pada pendekatan holistik yang menekankan pada metode partisipatif masyarakat terutama siswa di sekolah. Dimensi-dimensi yang dikembangkan pada program tersebut antara lain kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence), hak asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy), toleransi (tolerance), pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding), serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity).
Pendidikan perdamaian menyentuh pada tiga komponen, yaitu siswa, guru dan orang tua siswa. Ketiga komponen tersebut merupakan pelaku aktif proses penanaman nilai-nilai luhur dalam pendidikan perdamaian.
Peran guru adalah sebagai pendidik nilai-nilai dan pengajar ilmu pengetahuan.
Siswa adalah generasi muda yang akan meneruskan keberlangsungan bangsa yang diharapkan berperan pada sosialisasi nilai-nilai budaya damai anti kekerasan pada rekan sebaya.
Orangtua adalah mitra guru yang mampu mendorong, mendukung dan mengembangkan aktualisasi atau pelaksanaan budaya damai tanpa kekerasan.
Mengingat pentingnya budaya damai dan anti kekerasan, maka diperlukan sebuah langkah konkrit dalam menindaklanjuti kesadaran mengenai pentingnya hal tersebut.
Sebelum menentukan langkah yang hendak diaplikasikan, diperlukan pengenalan masalah dan orientasi medan, untuk mengindentifikasi berbagai macam alternatif program yang akan dilakukan.
Pada konteks upaya menciptakan budaya damai anti kekerasan di sekolah, identifikasi masalah tersebut diarahkan pada subjek pelaku yang menjadi target program yang hendak diaplikasikan.
Sumber Belajar: M. Noor Rochman Hadjam Wahyu Widhiarso
Gambar:http://pdfcast.net
jadi inget masa-masa sekolah dulu.. :)
BalasHapushttp://oldsunday.blogspot.com/
sip lah..
HapusIhik...ihik....masa sekolah masa yang paling indah.jadi ingin bersekolah lagi....
BalasHapusmmm mau?...kembali ke TK gih... ayo
HapusSekolah bagi saya sebagai sarana bentuk tambahan, yang paling utama adalah ruang lingkup diluar sekolah terutama keluarga.
BalasHapusSaya malah melihat sekolah di daerah cenderung lebih mementingkan pendidikan formal selain pendidikan emosional.
iyaah begitulah....puluhan tahun terkurung dengan paradigma dan sistem yang ..yang...yang...bisa saya rasakan sendiri..... ^_^...he he he.
Hapuscenderung bergantung pada basis nilai bukan proses. Siswa memang berhak dberi remidial, tapi guru juga jangan dipaksa untuk menuntaskan. Sebenarnya diluar konteks jika prestise sekolah ditentukan dengan berapa banyaknya siswa yang tidak lulus atau tidak naik kelas.
Mereka harus dibiarkan mandiri untuk menentukan nasib sendiri, mau hasil bagus mesti usaha mengejar ilmu....ini malah ilmu yang disuruh-suruh mencari siswa.... walaaaah.
Yups betul, Siswa harus dididik bukan hanya mengejar nilai pelajaran namun harus bisa menyelesaikan sebuah masalah.
HapusMisalnya siwsa yang asalnya terbiasa mendapat nilai 9 kemudian pada suatu saat mendapat nilai rendah kemudian stress maka lebih baik siswa yang mendapat nilai 7 tapi bisa menyikapinya dengan baik yang pada akhirnya bisa meningkatkan kemampuan menangani suatu masalah dan bisa meningkatnya nilai pelajaran itu sendiri.
Kasus yang Saya alami sendiri yaitu Anak Saya waktu kelas 2 dan 3 SD dimana urutan nilai selalu posisi kedua dan ketiga dari yang terbesar namun selalu ikut lomba CALISTUNG karena pertimbangan Guru bahwa Anak Saya lebih kuat dari sisi mental dan terbukti ketika Anak Saya kelas 4 bisa meraih nilai tertinggi dan sampai sekarang selalu mendapat nilai ulangan terbaik.
Wah maaf kalau tulisan nya terlalu panjang :)
di sekolah musti diajari/ditegakkan kedamaian jd jgn sampai ada bullying dan tawuran
BalasHapusiya mas Ri...semua bergerak kearah itu....
Hapus