Baru-baru ini saya terlibat diskusi hangat di Forum Alumni ITB tentang kesesuaian materi kuliah dengan pekerjaan.
Dari semua posting, cukup besar persentase alumni yang posting menyatakan bahwa presentase kesesuaian kecil.
Akan tetapi, berpendapat bahwa persentase keselarasan yang kecil tersebut tidak masalah.
ITB tidak terbatas ke Jurusan Informatika dan yang posting adalah alumni berbagai jurusan.
Bila sebelumnya dalam berbagai tulisan saya fokus pada alumni pendidikan software, kali ini saya memperluas pembahasan ke berbagai jurusan.
Bisalah kita katakan bahwa para mahasiswa pernah begadang atau pernah (atau banyak) melanggar hukum dengan fotokopi buku cetak tanpa izin penerbit.
Para mahasiswa juga pernah harus berpikir yang rumit-rumit, nyontek, beli alat ini itu, dan ikut ospek - yang dalam beberapa kasus ditebus dengan nyawa.
Kalau alumni menganggap semua kesia-siaan pengorbanan itu tidak masalah, makin bertambah satu faktor penyebab jebloknya Indonesia. Ya, ternyata orang-orang yang dianggap intelek itu -alumni perguruan tinggi- adalah orang-orang yang boros luar biasa.
Mereka boros dengan dosa, mengumbar pelanggaran hal salin orang lain secara bertahun-tahun tanpa rasa bersalah.
Mereka boros dengan dosa menyontek. Bahkan setelah boros dengan segala dosa itu, mereka bisa dengan enteng mengatakan tidak masalah bahwa ujung dari semua dosa tersebut bukanlah keberhasilan membuat produk.
Banyak engineer Cina, Jepang, Korea, atau Taiwan melakukan semua dosa diatas tapi berujung pada penguasaan teknologi untuk membuat produk.
Bila sama-sama berdosa seperti itu, saya lebih bangga jadi orang-orang ras kuning daripada orang indonesia dalam hal seperti itu.
Sekarang mari kita lihat hal-hal boros tanpa melihat dosa.
Bila melihat borosnya alumni -dengan menyetujui kesia-siaan pendidikan- tidak mengherankan kita kalah dari Cina, Jepang, Korea, Malaysia, dan Singapura.
Malaysia berusaha tidak boros dengan pendidikan mereka sehingga engineer mereka bisa dipakai untuk menguasai industri otomotif, transportasi, dan teknologi informasi.
Ada efek yang buruk dan mengkhawatirkan dari ketidakpedulian alumni tentang ketidaksesuaian materi kuliah dengan pekerjaan.
Efek buruk pertama adalah ketidakpedulian pebisnis pendidikan dan pengajar.
Bayangkan kalau saya pengajar atau pebisnis pendidikan.
Suatu saat saya menghadapi demontrasi besar-besaran dari mahasiswa. Mereka protes bahwa materi kuliah jelek dan tidak sesuai tuntutan dunia kerja.
Saya akan undang alumni terkenal yang sudah bekerja di bidang lain dan boros dengan pendidikan yang merasa cincai-lah tidak harus bekerja sesuai jurusan segera setelah tamat.
Alumni tersebut tentu harus konsisten dengan perkataannya. Dia saya pakai untuk membuat pembelaan,"Sudah, jangan ribut tentang materi kuliah." Nah, saya enak dan mudah 'kan berkelit dari tanggung jawab?
Sebagai mahasiswa, saya juga bisa menyalahgunakan tingkat pemaafan yang berlebihan terhadap ketidaksesuaian materi kuliah dengan pekerjaan.
Kalau dosen saya menasihati -atau mungkin tepatnya menakut-nakuti- bahwa saya harus belajar serius di kelasnya, saya akan dengan enteng mengutip alumni saya,"Pak, alumni kita banyak kerja enggak sesuai jurusan kok. Saya cuma mau dapat gelar kok di sini. Bapak tau itu juga, 'kan?"
Suatu pembelaan yang klasik terhadap tidak sesuainya materi kuliah dengan pekerjaan adalah seperti ini,"Yang kita dapat itu pola pikirnya".
Tidak jelas pola pikir seperti apa yang didapat dari kuliah yang sesuai dengan banyak pekerjaan. Bukankah banyak buku yang mengajarkan kita cara berpikir? Saya pada saat kuliah di ITB di dekade 1980 sudah membaca buku De Bono berjudul Berpikir Lateral.
Koordinator Kopertis Wilayah IX Sulawesi, Prof.Dr. Muhammad Basri Wello, mengatakan bahwa kuliah adalah investasi (http://metrotvnews.com/read/news/2012/02/04/80908/Belasan-Universitas-Terancam-Jadi-Sekolah-Tinggi/3).
Bila kita sangat permisif untuk membiarkan materi kuliah tidak sesuai pekerjaan, apakah (materi) kuliah masih merupakan investasi?
Sumber:PCMedia 03/2012
Penulis: Bernaridho L. Hutabarat (Direktur PT Bisnis Tekno Ultima)
bernaridho@biztek.co.id
Gambar:http://yandywoody.blogspot.com
Dari semua posting, cukup besar persentase alumni yang posting menyatakan bahwa presentase kesesuaian kecil.
Akan tetapi, berpendapat bahwa persentase keselarasan yang kecil tersebut tidak masalah.
ITB tidak terbatas ke Jurusan Informatika dan yang posting adalah alumni berbagai jurusan.
Bila sebelumnya dalam berbagai tulisan saya fokus pada alumni pendidikan software, kali ini saya memperluas pembahasan ke berbagai jurusan.
Bisalah kita katakan bahwa para mahasiswa pernah begadang atau pernah (atau banyak) melanggar hukum dengan fotokopi buku cetak tanpa izin penerbit.
Para mahasiswa juga pernah harus berpikir yang rumit-rumit, nyontek, beli alat ini itu, dan ikut ospek - yang dalam beberapa kasus ditebus dengan nyawa.
Kalau alumni menganggap semua kesia-siaan pengorbanan itu tidak masalah, makin bertambah satu faktor penyebab jebloknya Indonesia. Ya, ternyata orang-orang yang dianggap intelek itu -alumni perguruan tinggi- adalah orang-orang yang boros luar biasa.
Mereka boros dengan dosa, mengumbar pelanggaran hal salin orang lain secara bertahun-tahun tanpa rasa bersalah.
Mereka boros dengan dosa menyontek. Bahkan setelah boros dengan segala dosa itu, mereka bisa dengan enteng mengatakan tidak masalah bahwa ujung dari semua dosa tersebut bukanlah keberhasilan membuat produk.
Banyak engineer Cina, Jepang, Korea, atau Taiwan melakukan semua dosa diatas tapi berujung pada penguasaan teknologi untuk membuat produk.
Bila sama-sama berdosa seperti itu, saya lebih bangga jadi orang-orang ras kuning daripada orang indonesia dalam hal seperti itu.
Sekarang mari kita lihat hal-hal boros tanpa melihat dosa.
Bila melihat borosnya alumni -dengan menyetujui kesia-siaan pendidikan- tidak mengherankan kita kalah dari Cina, Jepang, Korea, Malaysia, dan Singapura.
Malaysia berusaha tidak boros dengan pendidikan mereka sehingga engineer mereka bisa dipakai untuk menguasai industri otomotif, transportasi, dan teknologi informasi.
Ada efek yang buruk dan mengkhawatirkan dari ketidakpedulian alumni tentang ketidaksesuaian materi kuliah dengan pekerjaan.
Efek buruk pertama adalah ketidakpedulian pebisnis pendidikan dan pengajar.
Bayangkan kalau saya pengajar atau pebisnis pendidikan.
Suatu saat saya menghadapi demontrasi besar-besaran dari mahasiswa. Mereka protes bahwa materi kuliah jelek dan tidak sesuai tuntutan dunia kerja.
Saya akan undang alumni terkenal yang sudah bekerja di bidang lain dan boros dengan pendidikan yang merasa cincai-lah tidak harus bekerja sesuai jurusan segera setelah tamat.
Alumni tersebut tentu harus konsisten dengan perkataannya. Dia saya pakai untuk membuat pembelaan,"Sudah, jangan ribut tentang materi kuliah." Nah, saya enak dan mudah 'kan berkelit dari tanggung jawab?
Sebagai mahasiswa, saya juga bisa menyalahgunakan tingkat pemaafan yang berlebihan terhadap ketidaksesuaian materi kuliah dengan pekerjaan.
Kalau dosen saya menasihati -atau mungkin tepatnya menakut-nakuti- bahwa saya harus belajar serius di kelasnya, saya akan dengan enteng mengutip alumni saya,"Pak, alumni kita banyak kerja enggak sesuai jurusan kok. Saya cuma mau dapat gelar kok di sini. Bapak tau itu juga, 'kan?"
Suatu pembelaan yang klasik terhadap tidak sesuainya materi kuliah dengan pekerjaan adalah seperti ini,"Yang kita dapat itu pola pikirnya".
Tidak jelas pola pikir seperti apa yang didapat dari kuliah yang sesuai dengan banyak pekerjaan. Bukankah banyak buku yang mengajarkan kita cara berpikir? Saya pada saat kuliah di ITB di dekade 1980 sudah membaca buku De Bono berjudul Berpikir Lateral.
Koordinator Kopertis Wilayah IX Sulawesi, Prof.Dr. Muhammad Basri Wello, mengatakan bahwa kuliah adalah investasi (http://metrotvnews.com/read/news/2012/02/04/80908/Belasan-Universitas-Terancam-Jadi-Sekolah-Tinggi/3).
Bila kita sangat permisif untuk membiarkan materi kuliah tidak sesuai pekerjaan, apakah (materi) kuliah masih merupakan investasi?
Sumber:PCMedia 03/2012
Penulis: Bernaridho L. Hutabarat (Direktur PT Bisnis Tekno Ultima)
bernaridho@biztek.co.id
Gambar:http://yandywoody.blogspot.com
nah, bingung dong kalo gitu,,,
BalasHapusseharusnya bagaimana pak? materi kuliah harus disesuaikan dengan pekerjaan?
BalasHapusaku juga ga suka dengan budaya ospek yg tidak bermanfaat
BalasHapus