Melalui proses pembelajaran, terutama yang berlangsung didalam institusi pendidikan formal, apa yang dipandang mutlak dalam agama akan dibakukan atau diobjektivikasikan.
Pada kenyataannya, pembakuan ini tidak saja mampu mempertahankan keaslian doktrin agama yang berkaitan dengan kemutlakan, tetapi juga berhasil memperkaya khasanah epistemologi (cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan) keagamaan, yakni lahirnya ilmu-ilmu keagamaan yang kelak dapat mempermudah generasi selanjutnya.
Selain itu secara sosiologi juga dapat memperkokoh ikatan primordial (sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya) komunitas agama. Sampai disini, pembakuan masih terkesan manusiawi, karena dengan cara demikian, jalan manusia dalam menemukan realitas mutlak lebih mudah.
Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa sering kali pembakuan berakibat pada terjadinya formalisme berlebihan yang justru dapat mempersempit ruang gerak agama.
Dalam formalisme semacam ini, agama menjadi terlingkupi hanya sebatas sebagai himpunan doktrin dan sebagai himpunan hukum-hukum yang telah baku yang diyakini mengandung kemutlakan. Implikasi dari formalisme ini adalah tuntutan terhadap penerimaan secara taken for granted. Padahal pembakuan itu tidak lebih sebagai suatu usaha epistemologis yang terikat oleh dinamika ruang dan waktu, sehingga membuka peluang untuk dikaji ulang.
Tetapi, karena dimensi epistemologis tersebut terlanjur dipandang sebagai bagian dari iman, akan terjadi proses pensakralan pemikiran keagamaan. Jika pensakralan ini sendiri tepat sasaran, tentu tidak menjadi persoalan.
Tetapi jika pensakralan tersebut justru melenceng jauh dari sasaran, dalam arti bahwa pemikiran keagamaan bercampur aduk dengan kepentingan golongan atau kelembagaan, atau penyimpangan kelompok tertentu, maka akan terjadi penyimpangan-penyimpangan dan distorsi dalam kehidupan agama umat manusia.
Bahkan sangat dimungkinkan terjadi manipulasi yang cuma menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.
Sumber kutipan dan gambar:
http://id.wikipedia.org/wiki/
http://www.google.co.id/imghp?hl=en&tab=wi
PMKnA, Ngainun&Sauqi
Pada kenyataannya, pembakuan ini tidak saja mampu mempertahankan keaslian doktrin agama yang berkaitan dengan kemutlakan, tetapi juga berhasil memperkaya khasanah epistemologi (cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan) keagamaan, yakni lahirnya ilmu-ilmu keagamaan yang kelak dapat mempermudah generasi selanjutnya.
Selain itu secara sosiologi juga dapat memperkokoh ikatan primordial (sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya) komunitas agama. Sampai disini, pembakuan masih terkesan manusiawi, karena dengan cara demikian, jalan manusia dalam menemukan realitas mutlak lebih mudah.
Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa sering kali pembakuan berakibat pada terjadinya formalisme berlebihan yang justru dapat mempersempit ruang gerak agama.
Dalam formalisme semacam ini, agama menjadi terlingkupi hanya sebatas sebagai himpunan doktrin dan sebagai himpunan hukum-hukum yang telah baku yang diyakini mengandung kemutlakan. Implikasi dari formalisme ini adalah tuntutan terhadap penerimaan secara taken for granted. Padahal pembakuan itu tidak lebih sebagai suatu usaha epistemologis yang terikat oleh dinamika ruang dan waktu, sehingga membuka peluang untuk dikaji ulang.
Tetapi, karena dimensi epistemologis tersebut terlanjur dipandang sebagai bagian dari iman, akan terjadi proses pensakralan pemikiran keagamaan. Jika pensakralan ini sendiri tepat sasaran, tentu tidak menjadi persoalan.
Tetapi jika pensakralan tersebut justru melenceng jauh dari sasaran, dalam arti bahwa pemikiran keagamaan bercampur aduk dengan kepentingan golongan atau kelembagaan, atau penyimpangan kelompok tertentu, maka akan terjadi penyimpangan-penyimpangan dan distorsi dalam kehidupan agama umat manusia.
Bahkan sangat dimungkinkan terjadi manipulasi yang cuma menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.
Sumber kutipan dan gambar:
http://id.wikipedia.org/wiki/
http://www.google.co.id/imghp?hl=en&tab=wi
PMKnA, Ngainun&Sauqi
seminggu sepetinya saya tidak mampir kesini ya
BalasHapusAturan agama ikuti saja seperti yang diajarkan Rasulullah. Kalo belajar agama harus ingat mati agar belajarnya sungguh2 tidak tercampur dengan ajaran duniawi.
BalasHapusmantapppp.........
BalasHapusnice post,love,peace and gaul.
BalasHapusbelajar agama ga cukup cuma 2 jam pelajaran di sekolah
BalasHapus*aku nonton TAR di tv kabel AXN
ass
BalasHapusbanyak tahu tentang pembelajaran agama
trims untuk artikelnya,menambah ilmu pengetahuan saya.
aku gak bs komentar apa2 kalo ngbahas soal agama. yg jls semua agama pasti mengajarkan hal yg bnr, hanya metodenya aja mungkin yg berbeda2...
BalasHapuspa kabar sob?lama tak jumpa
@Lidya - Mama Pascal: sama bu, saya malah 2 minggu....ada kesibukan lain..
BalasHapus@fb: untuk sungguh2nya itu diperlukannya istiqomah....sepakat sahabat.
BalasHapus@saryadinilanam love it ( your style sobat saryadinilah) :)
BalasHapus@r10: belajar agama adalah belajar tentang waktu sepanjang massa
BalasHapus@NURA: terimakasih mba Nur....gimana jualannya?....laris? salam sukses mba :D
BalasHapus@Penghuni 60: kabar baik sobat...lama memang ga jumpa online... :)
BalasHapus