Surat lugas mahasiswa, menyambung dari tulisan terdahulu -menggagas belajar yang menyenangkan- dari pengalaman Ibu Ida Azuz.
Surat tersebut dikerjakan dirumah, besoknya mereka harus menyetorkan surat pada saya, layaknya ujian take home. Semua peserta tidak perlu menuliskan namanya. Saya merencanakan memberikan nilai maksimal karena suratnya itu.
Ketika menerima setoran "tugas" surat-surat itu, terus terang ada perasaan was-was. Saya malah semalaman hampir tidak bisa tidur dengan nyenyak. Saya menunggu datangnya esok dengan gugup.
Surat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya saya baca dengan baik.
Aah... mata saya menjadi berkaca. Mahasiswa saya tidak menulis dengan nama jelas siapa dosen yang paling disukainya, tetapi mereka menulis dengan jelas karakter dosen yang disukai dan tidak.
Saya mengutip penggalan salah satu surat mereka,"...ada dosen yang sangat saya sukai. Dia itu suka memberi senyum pada kami. Juga kalau dikelas, suka memberi nasihat dan motivasi belajar..."
Ada juga yang lain, begini penggalannya,"...kau enak di Bogor, semua dosenmu mungkin bagus-bagus. Tapi disini, dosenku pada payah. Ada yang hanya membaca buku saja di kelas, kami disuruh mencatat. Kalau kami bertanya, dia tidak bisa menjawab, kuliah dihentikan dan kami dimarahi...."
Surat yang lain berbunyi,"... saya dapat membedakan dosen yang baik dan tidak baik. Kalau yang baik itu dia suka menerangkan dengan senyum dan memberi contoh yang lagi populer. Tetapi ada dosen yang menjadikan buku lamanya sebagai sekretaris pribadi, dia bingung kalau ditanya selain di bukunya..."
Betapa bahagianya dapat membaca ungkapan hati mahasiswa. Sesuatu yang tidak mungkin didapat kalau hanya berbicara dengan mereka. Surat mereka saya simpan baik-baik. Menjadi pengingat karakter dosen yang disukai oleh mahasiswa.
Kemudian surat-surat tersebut saya pelajari, melakukan introspeksi yang intens terhadap diri sendiri. Sungguh saya mulai tidak menjejali mahasiswa dengan pelajaran yang bertumpuk-tumpuk.
Kami mulai bergairah belajar. Saya mencoba menggeser jadwal kuliah ke jam 07.00 pagi. Mereka semua hadir pada jam sepagi itu, padahal saya tidak suka mengabsen mahasiswa. Artinya bahwa mereka hadir bukan karena ancaman absen. Derai tawa kerap menghiasi ruang kuliah yang dingin itu. Saya bahkan sering menyuruh mereka untuk ikut demo. Sesekali kami, saya dan mahasiswa, bolos...sambil saling menyenyumi.
Mengembangkan senyum yang panjang antara kami.
Sumber: Ibu Ida Azuz dalam Menggagas belajar yang menyenangkan di Buku Malaikat menulis dengan jujur.
Gambar:http://metro.kompasiana.com/2011/12/26/siswi-kecewa-berat-guru-malah-tertawa-berat/
Surat tersebut dikerjakan dirumah, besoknya mereka harus menyetorkan surat pada saya, layaknya ujian take home. Semua peserta tidak perlu menuliskan namanya. Saya merencanakan memberikan nilai maksimal karena suratnya itu.
Ketika menerima setoran "tugas" surat-surat itu, terus terang ada perasaan was-was. Saya malah semalaman hampir tidak bisa tidur dengan nyenyak. Saya menunggu datangnya esok dengan gugup.
Surat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya saya baca dengan baik.
Aah... mata saya menjadi berkaca. Mahasiswa saya tidak menulis dengan nama jelas siapa dosen yang paling disukainya, tetapi mereka menulis dengan jelas karakter dosen yang disukai dan tidak.
Saya mengutip penggalan salah satu surat mereka,"...ada dosen yang sangat saya sukai. Dia itu suka memberi senyum pada kami. Juga kalau dikelas, suka memberi nasihat dan motivasi belajar..."
Ada juga yang lain, begini penggalannya,"...kau enak di Bogor, semua dosenmu mungkin bagus-bagus. Tapi disini, dosenku pada payah. Ada yang hanya membaca buku saja di kelas, kami disuruh mencatat. Kalau kami bertanya, dia tidak bisa menjawab, kuliah dihentikan dan kami dimarahi...."
Surat yang lain berbunyi,"... saya dapat membedakan dosen yang baik dan tidak baik. Kalau yang baik itu dia suka menerangkan dengan senyum dan memberi contoh yang lagi populer. Tetapi ada dosen yang menjadikan buku lamanya sebagai sekretaris pribadi, dia bingung kalau ditanya selain di bukunya..."
Betapa bahagianya dapat membaca ungkapan hati mahasiswa. Sesuatu yang tidak mungkin didapat kalau hanya berbicara dengan mereka. Surat mereka saya simpan baik-baik. Menjadi pengingat karakter dosen yang disukai oleh mahasiswa.
Kemudian surat-surat tersebut saya pelajari, melakukan introspeksi yang intens terhadap diri sendiri. Sungguh saya mulai tidak menjejali mahasiswa dengan pelajaran yang bertumpuk-tumpuk.
***
Apa yang saya (Ibu Ida Azuz) dapatkan setelah menerapkan metode tersebut?Kami mulai bergairah belajar. Saya mencoba menggeser jadwal kuliah ke jam 07.00 pagi. Mereka semua hadir pada jam sepagi itu, padahal saya tidak suka mengabsen mahasiswa. Artinya bahwa mereka hadir bukan karena ancaman absen. Derai tawa kerap menghiasi ruang kuliah yang dingin itu. Saya bahkan sering menyuruh mereka untuk ikut demo. Sesekali kami, saya dan mahasiswa, bolos...sambil saling menyenyumi.
Mengembangkan senyum yang panjang antara kami.
Sumber: Ibu Ida Azuz dalam Menggagas belajar yang menyenangkan di Buku Malaikat menulis dengan jujur.
masyaAllah...
BalasHapusbenar-benar kena :)
Patut dicontoh buat pendidik...:)
BalasHapussemoga para pendidik bisa seperti ini
BalasHapusDosen emang harus kompak sama mahasiswanya.. Kalo udah di kampus belajarnya harus lebih dewasa sama-sama memahami hak dan tanggung jawab.
BalasHapusDosen yang kreatif dan inovatif
BalasHapusjadi dosen favorit belum tentu mendidik, nanti kesannya mahasiswa boleh bolos dan malas belajar krn dosennya baik
BalasHapusyg kaya gini ni top women 2012,,,go a head buat semua dosen.dan untuk smua yang bisa berinovasi
BalasHapus