Anda Blogger? Dan apakah mengikuti berita tentang blogger Kompasiana, Sri Mulyono?
Ketika dia harus menghadapi somasi yang dilayangkan oleh pengacara yang diduga mewakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Somasi itu terkait dengan tulisan saudara Sri Mulyono yang berjudul “Anas: Kejarlah Daku, Kau Terungkap”.
Didalam tulisannya tersebut, menyiratkan tuduhan langsung bahwa Presiden mengatur KPK untuk menjadikan Anas-tersangka.
Dalam menulis di media publik tentu kita sudah paham dengan etika penulisan, apalagi menyangkut "tuduhan" terhadap suatu lembaga, nama orang dan lainnya, jika masih sebatas praduga tentu dalam penulisan tuduhan terhadap obyek, nama/lembaga mesti disamarkan (ada bukti atau tidak ada bukti otentik)- Apalagi dalam kasus ini unsur politisnya terlalu kental.
Dan jelas saja walau saudara Mulyono mencoba minta dukungan para blogger dengan masalah "kebebasan" ini, tetap tidak semua blogger mendukungnya. Sebagian malah meminta Mulyono untuk memberikan bukti atas tuduhan dalam artikelnya tersebut (TanggungJawab Blogger)
Di sisi lain, somasi atau tuntutan hukum bisa dipandang berlebihan karena berpotensi memasung kebebasan mengemukakan pendapat. Lebih jauh lagi, bisa saja sebuah tulisan dianggap mengandung muatan pencemaran atau penghinaan dari kacamata personal yang subyektif.
Ini seperti pasal karet semacam Hatzaai Artikelen yang kerap dipakai penguasa Orde Baru.
Sebagai blogger,kita bisa cemas kalau ada yang tidak menerima bentuk tulisan kritis dalam blog.
Padahal blog bisa menjadi wadah untuk menyalurkan keluhan terhadap keseharian, pelayanan publik, penipuan produk, atau hak warga negara.
Sebenarnya soal pencemaran nama baik atau penghinaan telah diatur oleh KUHP Pasal 310 dan 311. Konstitusi kita telah mengenal dan mengakui adanya kebebasan pers seperti tertuang dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam kehidupan demokrasi saat ini, kita memang tidak bisa melarang hak-hak orang yang terganggu dengan sebuah pemberitaan. Adagium “balaslah sebuah kritik tulisan dengan tulisan lain” memang masih relevan.
Alih-alih somasi atau legal action, sebaiknya perselisihan bisa dicoba memakai acuan delik pers jika terjadi beda pendapat.
Jika tidak puas, baru maju ke pengadilan.
Sebagaimana dikatakan Frank La Rue, The Internet is a “plaza publica”—a public place where we can all participate, namun kita harus sepakat bahwa partisipasi publik harus diimbangi dengan tanggung jawab.
Sumber:Majalah Detik
Ketika dia harus menghadapi somasi yang dilayangkan oleh pengacara yang diduga mewakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Somasi itu terkait dengan tulisan saudara Sri Mulyono yang berjudul “Anas: Kejarlah Daku, Kau Terungkap”.
Didalam tulisannya tersebut, menyiratkan tuduhan langsung bahwa Presiden mengatur KPK untuk menjadikan Anas-tersangka.
Dalam menulis di media publik tentu kita sudah paham dengan etika penulisan, apalagi menyangkut "tuduhan" terhadap suatu lembaga, nama orang dan lainnya, jika masih sebatas praduga tentu dalam penulisan tuduhan terhadap obyek, nama/lembaga mesti disamarkan (ada bukti atau tidak ada bukti otentik)- Apalagi dalam kasus ini unsur politisnya terlalu kental.
Dan jelas saja walau saudara Mulyono mencoba minta dukungan para blogger dengan masalah "kebebasan" ini, tetap tidak semua blogger mendukungnya. Sebagian malah meminta Mulyono untuk memberikan bukti atas tuduhan dalam artikelnya tersebut (TanggungJawab Blogger)
Di sisi lain, somasi atau tuntutan hukum bisa dipandang berlebihan karena berpotensi memasung kebebasan mengemukakan pendapat. Lebih jauh lagi, bisa saja sebuah tulisan dianggap mengandung muatan pencemaran atau penghinaan dari kacamata personal yang subyektif.
Ini seperti pasal karet semacam Hatzaai Artikelen yang kerap dipakai penguasa Orde Baru.
Sebagai blogger,kita bisa cemas kalau ada yang tidak menerima bentuk tulisan kritis dalam blog.
Padahal blog bisa menjadi wadah untuk menyalurkan keluhan terhadap keseharian, pelayanan publik, penipuan produk, atau hak warga negara.
Sebenarnya soal pencemaran nama baik atau penghinaan telah diatur oleh KUHP Pasal 310 dan 311. Konstitusi kita telah mengenal dan mengakui adanya kebebasan pers seperti tertuang dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam kehidupan demokrasi saat ini, kita memang tidak bisa melarang hak-hak orang yang terganggu dengan sebuah pemberitaan. Adagium “balaslah sebuah kritik tulisan dengan tulisan lain” memang masih relevan.
Alih-alih somasi atau legal action, sebaiknya perselisihan bisa dicoba memakai acuan delik pers jika terjadi beda pendapat.
Jika tidak puas, baru maju ke pengadilan.
Sebagaimana dikatakan Frank La Rue, The Internet is a “plaza publica”—a public place where we can all participate, namun kita harus sepakat bahwa partisipasi publik harus diimbangi dengan tanggung jawab.
Sumber:Majalah Detik
kalau dibalik gimana ya, yaitu SBY harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah
BalasHapushahaha iya...sudah sepertinya...dengan berbagai curhatan pribadinya
Hapusitulah mengapa aku tidak pernah membahas soal politik, ribet
BalasHapusiya menyesuaikan dengan kondisi blog juga....mungkin
HapusKalau lebih teliti lagi seorang blogger pasti ga bakal terjerat hukum. Soalnya hukum cyber itu ada dan tak bisa dipungkiri.
BalasHapusMakasih informasinya pak.