Mengajar itu adalah mudah (mengajari, menasehati,menggurui), sedangkan belajar adalah yang lebih sulit. Kalau kita gunakan istilah begini,
"membelajarkan" maka akan lebih bersahabat bagi kemajuan pendidikan, maksudnya?
Kita sebagai guru bukan mengajar, namun membelajarkan murid-murid kita.
Kalau sebagai orangtua membelajarkan anak-anak kita. Yang namanya membelajarkan adalah kita memastikan bahwa kalau kita mengajar, maka murid atau anak kita juga belajar.
Itulah yang namanya membelajarkan sebenarnya.
Ini bicara proses, dan bicara tentang proses itu mencangkup banyak hal. Diantaranya kurikulum, yang semakin ke bawah semakin non akademik.
Dalam artian yang diajarkan bersifat non akademik yaitu meliputi sikap dan kepribadian.
Maksudnya seperti contoh berikut, bila saya mengajar mahasiswa, maka saya tidak lagi bilang, “hei sikapmu tidak baik, kamu punya karakter tidak baik”.
Tidak ada hal seperti itu, karena mereka telah dewasa. Yang paling penting saya mengajar materinya dan mereka harus menguasai. Masalah karakter, sikap dan kepribadian menjadi urusan mereka sendiri.
Namun lain halnya pada saat dia masih kecil hingga remaja. Yang kita tekankan adalah aspek non akademik. Sikap, kepribadian dan rasa percaya diri harus dibuat bagus.
Bagaimana dengan pelajaran? Tidak menguasai juga tidak masalah. Yang penting pondasi yang bagus, sikap, semangat juang, rasa senang belajar dulu yang dibangkitkan.
Jadi sekali lagi, janganlah anak kita dibuat stress karena sekolah. Mengapa belajar menjadi suntuk dan tidak menyenangkan?
Pertama karena kita tidak tahu proses belajar yang benar. Kita tidak pernah mengajari anak bagaimana cara belajar yang benar. Kita tidak tahu prosesnya, sebab kita tidak pernah belajar dan diajari atau tidak pernah mengajarkan cara belajar yang benar.
Bisa dibilang, tujuan pendidikan adalah proses untuk memanusiakan manusia. Pendidikan itu sebenarnya memiliki keterkaitan pararel dengan hidup kita, bukan dengan nilai sekolah kita.
Kalau nilai itu bisa dengan mudah didapat,kita bisa mendapatkan nilai bagus dengan teknik-teknik belajar yang ada. Kita bisa mendapatkan nilai yang gemilang dengan belajar trik-trik menjawab soal.
Namun, pendidikan yang sesungguhnya tidak sekedar bagaimana kita mendapatkan nilai yang bagus dengan mempelajari trik-trik yang ada.
Sebagai orangtua, kita memberikan pendidikan pada anak kita untuk masa depan mereka.
Dan bicara mengenai value atau nilai pendidikan, banyak orangtua yang salah dalam mendidik anaknya. Selama ini orientasi kita hanyalah untuk mencapai nilai yang tinggi bahkan sempurna di lingkup akademiknya saja.
Namun, faktor non akademik seperti pendidikan karakter misalnya, yang bisa mengantar kepada kesuksesan justru diabaikan.
Sebelum berbicara mengenai sukses lebih lanjut, ada satu pertanyaan yang perlu kita cermati bersama. Apa yang harus kita lakukan saat kita ingin membangun rumah?
Selain pondasi, kita juga mendesign rumah kita kan? Sama dengan kehidupan kita, apakah kita pernah sadar telah mendesign hidup kita?
Apakah kita pernah secara sadar mendesign hidup anak kita lewat pendidikan. Biasanya cara kita mendesign kehidupan anak kita adalah dengan memasukkan mereka kedalam sekolah yang menurut kita bagus, mungkin lebih tepatnya bagus bangunan sekolahnya. Ini kita lakukan agar anak kita mendapatkan kesuksesan dalam hidupnya.
Padahal belum tentu demikian.Sama halnya dengan pondasi bangunan, pondasi hidup juga perlu untuk didesign dan dibangun dengan kokoh. Selayaknya merancang dan membangun sebuah pondasi rumah, kita minta seorang arsitek, seorang teknik sipil menghitung pondasi bisa batu kali, pondasi flat, struk cakar air, cakar bebek, dan segala macam agar terbentuk pondasi yang kuat.
Begitu juga dengan membangun kesuksesan kita dan anak kita. Kita juga butuh sebuah pondasi yang bagus, kuat dan bertahan selama hidup. Jadi jangan sampai kita salah mendesign dan membangunnya.
Pernah ada seorang ibu yang bertanya pada saya ”Pak, anak saya umur tiga setengah tahun tapi kok belum bisa baca seperti anak teman saya?” Saya hanya “mbatin” dan tersenyum “ ya iyalah, anak segitu belum waktunya belajar membaca, nanti dong ada tahapannya”.
Ada waktunya bermain, belajar dan bekerja. Ada baiknya biarkan anak tumbuh sesuai waktunya dan menjalani proses sesuai usianya. Ada usia untuk anak bermain, usia dia belajar dan akhirnya bekerja. Hal seperti itu jangan dilakukan (memaksa/mengkarbit), karena bukan seperti itu pondasi sukses seorang anak. Ingat sekali lagi, semakin tinggi bangunannya, semakin megah gedungnya, semakin sukses anak kita, maka pondasinya juga harus semakin kokoh.
Sumber: Timothy Wibowo; pendidikan karakter
Gambar:http://sahabatorangtuadananak.com
"membelajarkan" maka akan lebih bersahabat bagi kemajuan pendidikan, maksudnya?
Kita sebagai guru bukan mengajar, namun membelajarkan murid-murid kita.
Kalau sebagai orangtua membelajarkan anak-anak kita. Yang namanya membelajarkan adalah kita memastikan bahwa kalau kita mengajar, maka murid atau anak kita juga belajar.
Itulah yang namanya membelajarkan sebenarnya.
Ini bicara proses, dan bicara tentang proses itu mencangkup banyak hal. Diantaranya kurikulum, yang semakin ke bawah semakin non akademik.
Dalam artian yang diajarkan bersifat non akademik yaitu meliputi sikap dan kepribadian.
Maksudnya seperti contoh berikut, bila saya mengajar mahasiswa, maka saya tidak lagi bilang, “hei sikapmu tidak baik, kamu punya karakter tidak baik”.
Tidak ada hal seperti itu, karena mereka telah dewasa. Yang paling penting saya mengajar materinya dan mereka harus menguasai. Masalah karakter, sikap dan kepribadian menjadi urusan mereka sendiri.
Namun lain halnya pada saat dia masih kecil hingga remaja. Yang kita tekankan adalah aspek non akademik. Sikap, kepribadian dan rasa percaya diri harus dibuat bagus.
Bagaimana dengan pelajaran? Tidak menguasai juga tidak masalah. Yang penting pondasi yang bagus, sikap, semangat juang, rasa senang belajar dulu yang dibangkitkan.
Jadi sekali lagi, janganlah anak kita dibuat stress karena sekolah. Mengapa belajar menjadi suntuk dan tidak menyenangkan?
Pertama karena kita tidak tahu proses belajar yang benar. Kita tidak pernah mengajari anak bagaimana cara belajar yang benar. Kita tidak tahu prosesnya, sebab kita tidak pernah belajar dan diajari atau tidak pernah mengajarkan cara belajar yang benar.
***
Baiklah para pembaca sekalian, sekarang kita fokus membahas pendidikan. Sebenarnya apa tujuan dari pendidikan?Bisa dibilang, tujuan pendidikan adalah proses untuk memanusiakan manusia. Pendidikan itu sebenarnya memiliki keterkaitan pararel dengan hidup kita, bukan dengan nilai sekolah kita.
Kalau nilai itu bisa dengan mudah didapat,kita bisa mendapatkan nilai bagus dengan teknik-teknik belajar yang ada. Kita bisa mendapatkan nilai yang gemilang dengan belajar trik-trik menjawab soal.
Namun, pendidikan yang sesungguhnya tidak sekedar bagaimana kita mendapatkan nilai yang bagus dengan mempelajari trik-trik yang ada.
***
Pendidikan tentang kejujuran itu berawal dari rumah.Sebagai orangtua, kita memberikan pendidikan pada anak kita untuk masa depan mereka.
Dan bicara mengenai value atau nilai pendidikan, banyak orangtua yang salah dalam mendidik anaknya. Selama ini orientasi kita hanyalah untuk mencapai nilai yang tinggi bahkan sempurna di lingkup akademiknya saja.
Namun, faktor non akademik seperti pendidikan karakter misalnya, yang bisa mengantar kepada kesuksesan justru diabaikan.
Sebelum berbicara mengenai sukses lebih lanjut, ada satu pertanyaan yang perlu kita cermati bersama. Apa yang harus kita lakukan saat kita ingin membangun rumah?
Selain pondasi, kita juga mendesign rumah kita kan? Sama dengan kehidupan kita, apakah kita pernah sadar telah mendesign hidup kita?
Apakah kita pernah secara sadar mendesign hidup anak kita lewat pendidikan. Biasanya cara kita mendesign kehidupan anak kita adalah dengan memasukkan mereka kedalam sekolah yang menurut kita bagus, mungkin lebih tepatnya bagus bangunan sekolahnya. Ini kita lakukan agar anak kita mendapatkan kesuksesan dalam hidupnya.
Padahal belum tentu demikian.Sama halnya dengan pondasi bangunan, pondasi hidup juga perlu untuk didesign dan dibangun dengan kokoh. Selayaknya merancang dan membangun sebuah pondasi rumah, kita minta seorang arsitek, seorang teknik sipil menghitung pondasi bisa batu kali, pondasi flat, struk cakar air, cakar bebek, dan segala macam agar terbentuk pondasi yang kuat.
Begitu juga dengan membangun kesuksesan kita dan anak kita. Kita juga butuh sebuah pondasi yang bagus, kuat dan bertahan selama hidup. Jadi jangan sampai kita salah mendesign dan membangunnya.
***
Sekarang ini tidak jarang orangtua yang “mengkarbit” anak-anaknya.Pernah ada seorang ibu yang bertanya pada saya ”Pak, anak saya umur tiga setengah tahun tapi kok belum bisa baca seperti anak teman saya?” Saya hanya “mbatin” dan tersenyum “ ya iyalah, anak segitu belum waktunya belajar membaca, nanti dong ada tahapannya”.
Ada waktunya bermain, belajar dan bekerja. Ada baiknya biarkan anak tumbuh sesuai waktunya dan menjalani proses sesuai usianya. Ada usia untuk anak bermain, usia dia belajar dan akhirnya bekerja. Hal seperti itu jangan dilakukan (memaksa/mengkarbit), karena bukan seperti itu pondasi sukses seorang anak. Ingat sekali lagi, semakin tinggi bangunannya, semakin megah gedungnya, semakin sukses anak kita, maka pondasinya juga harus semakin kokoh.
Sumber: Timothy Wibowo; pendidikan karakter
Gambar:http://sahabatorangtuadananak.com
wah, membuka wawasan nih. beberapa bulan yang lalu saya belikan keponakan saya yang berumur 2,5 tahun, saya sangat berharap sekali dia bisa belajar sejak dini. setelah baca ini saya sadar kalau yang saya lakukan itu kurang tepat ya.
BalasHapusterimakasih.
iya makasih roel, belikan apa, sama ponakannya?
Hapus