Cari Artikel di blog Media Belajar Siswa

Loading
Untuk mencari artikel cukup ketikan kata kunci dan klik tombol CARI dengan mouse -Jangan tekan ENTER.

Bu Guru Dwita (sepi)

Amy dulu pernah bercerita padanya tentang keluarganya. Dikatakannya bahwa dia tak betah di rumah, dia lebih senang tidur di rumah eyang di Pasar Minggu, karena disana ia bisa tenang dan tentram tidak kesepian seperti di rumah orangtuanya.
"Amy takut pada sepi?" tanya bu guru Dwita waktu itu.
"Sepi, sih, tidak, Bu, tapi... Ah, pokoknya nggak enak. Papa memang sering bicara ketika kami semeja makan, tapi... Pokoknya nggak enak!"
"Apa Amy nggak bisa cerita dengan santai pada Papa atau Mama?"
"Ya, lagi pula Amy harus turut apa kata Papa"
"Amy takut membantah ucapan Papa?"
"Takut, sih, tidak, tapi... Sebenarnya Amy kasihan pada Papa, Bu. Mas Tomy sering pergi dan bertengkar dengan Papa, karenanya Papa sering sakit, Bu. Tapi..."
"Bu guru tahu, Amy sayang pada Papa, dan Papa Amy juga sayang pada Amy dan Mas Tomy, hanya saja Amy belum mengerti benar apa yang Papa Amy maksudkan. Yang penting Amy jangan melawan apalagi bertengkar seperti Mas Tomy.
Sarankan sekali-kali ajak Papa Amy piknik."
"Uuh, mana pernah sempat! Berangkat kerja bareng dengan Amy, pulang kerja sering kali sudah jam sepuluh malam. Minggu ada urusan,Sabtu juga ada urusan, Mama juga begitu."
Bu guru Dwita diam, seolah Amy adalah dirinya di masa lalu. Tentu saja orangtua bu guru Dwita tak sekaya orangtua Amy. Dulu bu guru Dwita juga mengalami hal seperti itu. Tak ada tempat mencurahkan perasaan hati selain di Poppy, bonekanya. Tiap hari, apalagi jika hari libur, sepanjang hari bu guru Dwita bermain dengan si Poppy. Bercerita, menyanyi, menangis, tertawa, semuanya hanya Poppy yang tahu. Sejak saat itu bu guru Dwita membangun dunianya sendiri, dunia yang akrab tanpa banyak kata-kata terhambur; dunia kesendirian yang tenang.
"Nilai-nilaimu bagus, tes IQ-mu memuaskan; Papi saran-kan kamu masuk kedokteran."
Padahal waktu itu dia baru saja lulus SMP. Ini artinya bu guru Dwita di SMA harus lebih giat belajar supaya kelak menjadi dokter seperti saran Papi. Tetapi apa hendak dikata, ujian saringan perguruan tinggi tidak meluluskannya; dan bu guru Dwita gembira, tetapi sekaligus sedih,karena melihat Papi begitu terpukul.
"Pi," katanya suatu malam,"boleh Ita bicara?"
BU guru Dwita, waktu itu, melihat wajah Papinya berubah. Wajah itu seolah tak percaya bahwa yang berbicara didepannya adalah anaknya, anaknya yang nomor dua, Dwita ! Sorot mata Papi lain sekali. Jika selama ini Papi menganggap anaknya anak bawang, kini Papi terkejut melihat kenyataan anaknya telah gadis dan berani berbicara seperti ini.
"Tentu,kamu mau bicara apa?" kata Papi lembut sekali.
 bersambung....

Diambil dari : kumpulan cerpen Yanusa Nugroho

5 komentar:

  1. Salam sahabat, Kunjungan pagi hari kawan.. baca juga artikel aku yang menjawab rasa penasaran kita di http://bagaimanaseandainya.blogspot.com (Indonesia Version) dan http://whatifhis.blogspot.com (English Version)

    BalasHapus
  2. Salam sahabat
    Jadi tahu bu guru Dwita sangat memberikan gambaran yang sangat luar biasa dimana dalan keadaan yang mengharuskan sijap diri dan hati yntuk mau dan mampu menerimanya ok mas sata tunggu kelanjutannya dan maaf telat

    BalasHapus
  3. semakin penasaran dengan kelanjutan ceritanya

    BalasHapus
  4. terimakasih mas Aini sastra; mba Dhana/戴安娜; NINDAA ; dan mas Abi....mencoba mencari warna-warna yang lain dari sebuah kegiatan blogging....

    salam blogger ^_^

    BalasHapus

(Terima kasih sudah mau berkunjung ke Blog Arya-Devi sudut kelas media belajar siswa)
Komentar Anda sebagai masukan berharga dan juga sebagai jalinan interaksi antar pengguna internet yang sehat. Dan jika berkenan mohon dukungannya dengan meng-klik tombol G+.

Jika berkenan dengan artikel di Blog ini,Mohon dukungan dengan klik G+ di Aryadevi Sudut Kelas