Cari Artikel di blog Media Belajar Siswa

Loading
Untuk mencari artikel cukup ketikan kata kunci dan klik tombol CARI dengan mouse -Jangan tekan ENTER.

Prabu Jayabaya

Jejak sejarah Kerajaan Kediri tidak bisa dilepaskan dari satu tokoh yang sangat terkenal dan melegenda yakni Prabu Jayabaya yang bergelar Sri Maharaja Sri Warmeswara Madhusudana Wataranindita Parakrama Digjayottunggadewanama Jayabhayalancana (1135-1159 M).

Prabu Jayabaya adalah raja keturunan Airlangga. Kisah tentang Jayabaya diawali ketika Airlangga membagi kekuasaan menjadi dua yakni Panjalu dan Jenggala. Pembagian kerajaan ini setelah sebelumnya Airlangga gagal menjadikan anak dari permaisuri yakni Dewi Kilisuci yang menolak menjadi raja menggantikan Airlangga dan memilih menjadi petapa.

Cerita panjang Kediri berawal ketika pembagian kerajaan oleh Airlangga ternyata justru menimbulkan konflik di antara Panjalu dan Jenggala. Kedua kerajaan ini senantiasa perang saudara, diawali antara Samarawijaya (Panjalu) dan Panji Garasakan (Jenggala).
Tahun 1052 M terjadi perebutan kekuasaan antara kedua belah pihak. Awalnya Panji Garasakan dapat mengalahkan Samarawijaya. Tapi pada 1059 Masehi muncul seorang raja lain, yaitu Raja Samarotsaha. Raja itu berkuasa di Kerajaan Jenggala.

Raja Samarotsaha adalah menantu Raja Airlangga. Namun, tahun 1104 Masehi tampil Kerajaan Panjalu sebagai rajanya yaitu Jayawangsa. Kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kediri yang beribu kota di Daha.

Tahun 1117 M Bameswara tampil sebagai raja Kediri. Prasasti yang ditemukan antara lain, Prasasti Padlegan (1117 M) dan Panumbangan (1120 M). Isinya pemberian status perdikan untuk beberapa desa.

Atas konflik yang berkepanjangan itu pada 1135, tampil raja yang terkenal yaitu Raja Jayabaya. Jayabaya ingin mengembalikan kejayaan seperti masa Airlangga dan ternyata ini berhasil, Panjalu dan Jenggala dapat bersatu kembali. Hal itu dijelaskan dalam Prasasti Hantang (1057 Saka) atau 1135 M dituliskan kata Pangjalu Jayati, artinya Panjalu menang berperang atas Jenggala dan sekaligus untuk menunjukkan bahwa Jayabaya adalah pewaris takhta kerajaan yang sah dari Airlangga.
***
Demikian uraian singkat tentang Prabu Jayabaya, sebagai penambah wawasan siswa dalam belajar Sejarah Nasional Indonesia masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha.

9 komentar:

  1. Soal ramalan Jayabaya itu, apa benar yang buat Prabu Jayabaya ya?..

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya pertanyaan yg sama dari saya ^_^, karena dari apa yang sy baca...berikut sy kutipkan:

      Ramalan Jayabaya atau sering disebut jangka Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kadiri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yg dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga.

      Asal-usul utama serat ramalan Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya, tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yang menuliskan bahwa Jayabaya yang membuat ramalan-ramalan tersebut.
      "Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani"

      Meskipun demikian, kenyataannya dua pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, sama sekali tidak menyebut bahwa bahwa Prabu Jayabaya memiliki karya tulis dalam kitab-kitab mereka yang berjudul Kakawin Bharatayuddha, [[Kakawin Hariwangsa],] dan Kakawin Gatotkacasraya. Kakawin Bharatayuddha hanya menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa yang disebut peperangan Bharatayuddha, sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi tentang cerita ketika sang prabu Kresna ingin menikah denganRukmini dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.

      Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak zamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M).

      Hapus
    2. Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah "Perdikan" yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak. Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong.

      Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala zamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll. Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn.

      Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).

      Hapus
    3. Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam'iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada zamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M.

      Jangka Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut "Kitab Asrar" Karangan Sunan Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut nama baru itu.

      Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak zaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedaton". Giri Kedaton ini nampaknya Merupakan zaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481 M. Namun demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai zaman Sunan Giri ke-3.

      Hapus
    4. Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M (882 H). Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat julukan sebagai "Ratu Bobodo") ialah Sultan Pajang. Disebut demikian karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah Islam di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar, yang juga hendak di basmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup.

      Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura. Di kelak kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.

      Hapus
    5. Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah beliau turun dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya, justru nanti dizaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja pengganti beliau dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi. Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia oleh Sultan Agung).

      Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri. Setelah mendapat pathokan/data baru, raja Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal, sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan gubahan "JANGKA JAYABAYA" dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya sebelumnya dalam bentuk babad.

      Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari.

      Cita-cita yang pujangga yang dilukiskan sebagai zaman keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata menunjukan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh yang kini benama "REPUBLIK INDONESIA"!. Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup diabad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng., cucu buyut pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I.

      Jangka Jayabaya dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang Merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Jayabaya yang hanya bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.

      Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian, Jangka Jayabaya ini ditulis kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini.

      Hapus
  2. Jadi sementara bisa ditarik simpul, bahwa dari sumber mulut ke mulut masyarakat dahulu dijaman itu, kemudian di tuliskan oleh para pujangga maka terbitlah kitab-kitab seperti yg dimaksud diatas.
    Sementara Prabu Jayabaya sendiri, tidak menuliskannya dalam bentuk seperti karya pujangga tersebut....wallahualam....

    BalasHapus
  3. Jadi yang diterima oleh kita bukan tulisan langsung Jayabaya ya.. Kisah dari mulut ke mulut bisa jadi dalam prosesnya ada perubahan. Terimakasih infonya mas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wallahualam mas, sumber dari cerita yang diyakini masyarakat dulu sampai sekarang, sebagai legenda yang diyakini kebenarannya juga bagian dari sejarah ( walau sulit diterima secara nyata apakah itu langsung dari Prabu Jayabaya).
      Dan sejarah bisa berubah jika ditemukan bukti-bukti baru....
      Walau begitu apa yang terkandung dalam "ramalan" Jayabaya tersebut, berkeserasian/berkesesuaian dengan kondisi dari jaman kejaman....

      Hapus

(Terima kasih sudah mau berkunjung ke Blog Arya-Devi sudut kelas media belajar siswa)
Komentar Anda sebagai masukan berharga dan juga sebagai jalinan interaksi antar pengguna internet yang sehat. Dan jika berkenan mohon dukungannya dengan meng-klik tombol G+.

Jika berkenan dengan artikel di Blog ini,Mohon dukungan dengan klik G+ di Aryadevi Sudut Kelas