cerita kemarin...
BU guru Dwita, waktu itu, melihat wajah Papinya berubah. Wajah itu seolah tak percaya bahwa yang berbicara didepannya adalah anaknya, anaknya yang nomor dua, Dwita ! Sorot mata Papi lain sekali. Jika selama ini Papi menganggap anaknya anak bawang, kini Papi terkejut melihat kenyataan anaknya telah gadis dan berani berbicara seperti ini.
"Tentu,kamu mau bicara apa?" kata Papi lembut sekali.
Dan semuanya begitu lancar terurai, meluncur lewat lima tahun lalu. Kini bu guru Dwita tengah menghadapi siswa-siswanya ulangan. Kini bu guru Dwita tengah menikmati dunia yang sedikit demi sedikit dibangunnya itu. Dunia yang penuh bunga-bunga yang mulai bermekaran, ceria, nakal, dan, ah, anak-anak.
Amy manis, kau juga pernah bilang pada ibu bahwa kau ingin jadi insinyur lapangan terbang, seperti Oom, ah, siapa Oom-mu yang sering kauceritakan itu ? Ah, sudahlah!
"Sudah selesai?"tanya bu guru Dwita memecah keheningan.
Kelas pecah, keluhan meletup disana sini. Gelisah mulai menggeliat disiang itu.
"Baik, Ibu beri waktu lima menit lagi."
"Huuuuu...!" Itu pasti suara Yusak.
Bu guru Dwita hanya tersenyum kecil. Si kriting krupuk itu, begitulah kawan-kawan sekelas menjulukinya, memang selalu begitu. Padahal, sering kali dia sudah selesai mengerjakan tugasnya.
"Baik, kumpulkan!" perintah bu guru Dwita tegas, lima menit kemudian.
Tak ada suara. Zamroni dengan cekatan mengumpulkan kertas ulangan dan menumpukan di meja. Kelas kembali sunyi. Bu guru Dwita agak heran melihat kelas seolah menunggu sesuatu.
"Kalian boleh pulang," perintahnya sambil masih memandang siswa-siswanya.
Seisi kelas hanya tersenyum, sambil saling pandang sesama mereka.
"Ada apa?" bu guru Dwita tersenyum heran. Kemudian mengemas kertas ulangan. Terbaca olehnya judul karangan milik Ninin "Ulang Tahun Guruku". Kelas mulai hidup oleh gelak-gelak kecil tawa mereka.
Lembar kedua dibacanya,"Ulang Tahun Nih, Yee..." tulisan Yusak. Kelas makin hidup. Bu guru gugup, segera dibacanya lembar-lembar ulangan itu, dan, ya, Tuhan! Semua bertuliskan...
"Panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya bu guru Dwita, bu guru Dwitaaa,...dan bahagia..." mereka menyanyi dan bertepuk tangan.
DI LUAR sana tak ada hujan, bahkan mendung pun tidak, tetapi Dwita Fajarini, pipinya basah, matanya pun begitu.
TAMAT
Sumber : Kumpulan cerpen Yanusa Nugroho
BU guru Dwita, waktu itu, melihat wajah Papinya berubah. Wajah itu seolah tak percaya bahwa yang berbicara didepannya adalah anaknya, anaknya yang nomor dua, Dwita ! Sorot mata Papi lain sekali. Jika selama ini Papi menganggap anaknya anak bawang, kini Papi terkejut melihat kenyataan anaknya telah gadis dan berani berbicara seperti ini.
"Tentu,kamu mau bicara apa?" kata Papi lembut sekali.
Dan semuanya begitu lancar terurai, meluncur lewat lima tahun lalu. Kini bu guru Dwita tengah menghadapi siswa-siswanya ulangan. Kini bu guru Dwita tengah menikmati dunia yang sedikit demi sedikit dibangunnya itu. Dunia yang penuh bunga-bunga yang mulai bermekaran, ceria, nakal, dan, ah, anak-anak.
Amy manis, kau juga pernah bilang pada ibu bahwa kau ingin jadi insinyur lapangan terbang, seperti Oom, ah, siapa Oom-mu yang sering kauceritakan itu ? Ah, sudahlah!
"Sudah selesai?"tanya bu guru Dwita memecah keheningan.
Kelas pecah, keluhan meletup disana sini. Gelisah mulai menggeliat disiang itu.
"Baik, Ibu beri waktu lima menit lagi."
"Huuuuu...!" Itu pasti suara Yusak.
Bu guru Dwita hanya tersenyum kecil. Si kriting krupuk itu, begitulah kawan-kawan sekelas menjulukinya, memang selalu begitu. Padahal, sering kali dia sudah selesai mengerjakan tugasnya.
"Baik, kumpulkan!" perintah bu guru Dwita tegas, lima menit kemudian.
Tak ada suara. Zamroni dengan cekatan mengumpulkan kertas ulangan dan menumpukan di meja. Kelas kembali sunyi. Bu guru Dwita agak heran melihat kelas seolah menunggu sesuatu.
"Kalian boleh pulang," perintahnya sambil masih memandang siswa-siswanya.
Seisi kelas hanya tersenyum, sambil saling pandang sesama mereka.
"Ada apa?" bu guru Dwita tersenyum heran. Kemudian mengemas kertas ulangan. Terbaca olehnya judul karangan milik Ninin "Ulang Tahun Guruku". Kelas mulai hidup oleh gelak-gelak kecil tawa mereka.
Lembar kedua dibacanya,"Ulang Tahun Nih, Yee..." tulisan Yusak. Kelas makin hidup. Bu guru gugup, segera dibacanya lembar-lembar ulangan itu, dan, ya, Tuhan! Semua bertuliskan...
"Panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya bu guru Dwita, bu guru Dwitaaa,...dan bahagia..." mereka menyanyi dan bertepuk tangan.
DI LUAR sana tak ada hujan, bahkan mendung pun tidak, tetapi Dwita Fajarini, pipinya basah, matanya pun begitu.
TAMAT
Sumber : Kumpulan cerpen Yanusa Nugroho
Wah, ada cerpen di sini. Happy ending ya. Seperti harapan kita semua.
BalasHapusSalam ukhuwah
(follow juga untuk mempererat silaturahim)
Salam sahabat
BalasHapusMengukas Bu Guru pada postinfan sebelumnya memberikan curi tersendiri dimana ciri twrsebut merupakqn bagian dari kisah yang setidaknta banyak yang menfalamu, terima kasih dan sangat memotivasi
wah sekarang di sini ada ceritanya segala ya, keren...
BalasHapuswah,guru memang pahlawan tanpa tanda jasa.salam kenal,kalau ada waktu kunjungi blog ane ya
BalasHapusterimakasih yang hangat ( sebenarnya panas, tapi nanti image-nya berbeda ^_^ ) teruntuk :
BalasHapus@ Khutbah Jumat 2011
@ Dhana/戴安娜
@ joe
@ i-one
sebagai penghubung nafas dari acara blogging sesama blogger.......dengan anda semua, kami merasa masih bisa bermanfaat....salam ^_^
wew asik ceritanya pak guru
BalasHapusApa Unsur² Novel Nya?
BalasHapus