Cari Artikel di blog Media Belajar Siswa

Loading
Untuk mencari artikel cukup ketikan kata kunci dan klik tombol CARI dengan mouse -Jangan tekan ENTER.

Guru menguraikan,bukan menentukan

musik
Sebagai pandangan yang ideal, siswa dibiasakan untuk bisa menerima pendapat orang lain selama ada dalil yang benar dan bebas menentukan pendapat mana yang hendak diambil (guru bukan sebagai yang menentukan/memaksa).

Saat siswa bertanya"Mengenai hukum musik dan dalilnya"
Guru menguraikan, menjelaskan dasar-dasar hukum yang melingkupinya, bukan menentukan, bukan memberi doktrin (hanya memperkuat satu pihak pendapat) pada suatu masalah yang sama mempunyai dasar yang jelas dan kuat.

Dalil-dalil yang mengharamkan :
1. QS.Luqman(31):6.
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.”

Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.

2. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Sallallahu 'alaihiwasallam bersabda:

“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].
3. Hadits Aisyah radiyallahu 'anha Rasulullah Sallallahu 'alaihiwasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].

4. Hadits dari Ibnu Mas’ud radiyallahu 'anhu, Rasulullah Sallallahu 'alaihiwasallam bersabda:

“Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].

5. Hadits dari Abu Umamah radiyallahu 'anhu, Rasulullah Sallallahu 'alaihiwasallam bersabda:

“Orang yang bernyanyi, maka Allah SubhanahuWaTa'ala mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].

6. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Sallallahu 'alaihiwasallam bersabda:

“Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”


Dalil-Dalil Yang Membolehkan :

1. (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.”

2. Hadits dari Nafi’ radiyallahu 'anhu, katanya:

Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar radiyallahu 'anhu. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Sallallahu 'alaihiwasallam.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].

3. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:

Nabi Sallallahu 'alaihiwasallam mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Sallallahu 'alaihiwasallam yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Sallallahu 'alaihiwasallam bersabda:
“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].

4. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Sallallahu 'alaihiwasallam bersabda:

“Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].

5. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:

“Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Sallallahu 'alaihiwasallam)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].

6. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha yang berkata ”di kamarku ada Jariyyah Anshar kemudian aku menikahkannya maka Rasulullah Sallallahu 'alaihiwasallam masuk pada hari pernikahannya itu Beliau Sallallahu 'alaihiwasallam sama sekali tidak mendengar nyanyian ataupun lahwu(permainan) kemudian Beliau Sallallahu 'alaihiwasallam bersabda ”wahai Aisyah apakah engkau tidak memberikan nyanyian untuknya?”. Kemudian Beliau Sallallahu 'alaihiwasallam bersabda lagi ”bukankah di kampung ini kampungnya orang Anshar yang mereka itu sangat menyukai nyanyian”.(Hadis dalam Shahih Ibnu Hibban no 5875 semua perawinya tsiqat).

Begitu pula dalam hadis ini yang berkesan adanya anjuran nyanyian atau hiburan dalam pernikahan. Hal ini setidaknya membuktikan nyanyian itu tidak haram karena Nabi Sallallahu 'alaihiwasallam telah mengizinkannya dalam pernikahan.
***

Dengan menelaah dalil-dalil di atas, akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.

Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi sallallahu'alaihiwasallam ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir).
Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu.

Oleh karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya.

Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih, “Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima “Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.”

Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan,  “Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “. Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.”
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut,  bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya.
Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya.

Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah Subhanahuwata'ala, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya.
***
Selanjutnya setelah mendapat penjelasan tersebut diatas, kembali diberikan kebebasan kepada siswa untuk menganalisanya, memahaminya dengan menelusuri pada sumber-sumber yang tersedia atau kembali mendiskusikan kepada orang-orang, ustadz-ustadz, para ulama, orangtua yang lebih paham yang ada dilingkungan mereka.

Ditengah pembelajaran PAI-pertanyaan siswa tentang masalah musik dalam Islam.

Sumber: dari guru-guruku
Gambar:http://www.anneahira.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(Terima kasih sudah mau berkunjung ke Blog Arya-Devi sudut kelas media belajar siswa)
Komentar Anda sebagai masukan berharga dan juga sebagai jalinan interaksi antar pengguna internet yang sehat. Dan jika berkenan mohon dukungannya dengan meng-klik tombol G+.

Jika berkenan dengan artikel di Blog ini,Mohon dukungan dengan klik G+ di Aryadevi Sudut Kelas